oleh :Nurdianah Fitri
Mendapatkan pendidikan adalah hak bagi
setiap anak. Seperti yang kita tahu, banyak anak-anak di daerah pelosok atau
terpencil yang tidak mendapatkan pendidikan sekolah. Hal ini dikarenakan
kurangnya perhatian pemerintah, ditambah lagi bagi mereka yang kurang mampu,
biaya pendidikan itu tidaklah murah. Beberapa faktor lagi yang membuat mereka
enggan untuk sekolah adalah sarana transportasi dan jauhnya jarak sekolah dari
tempat tinggal mereka. Sekolah di daerah-daerah memang jauh dari pemukiman
masyarakat dan dari segi jumlah masih perlu penambahan.
Pembanguan fisik
sekolah-sekolah di wilayah perkotaan terus menjamur seiring dengan
dikeluarkannya dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) oleh pemerintah.
Sayangnya perhatian pemerintah tentang pendidikan yang disalurkan lewat dana
BOS tersebut tidak begitu nyata dirasakan dampaknya oleh masyarakat atau
sekolah-sekolah di daerah pedalaman atau daerah terpencil. Gembar-gembor dana
BOS yang dijanjikan oleh pemerintah membahana ke seluruh pelosok negeri, namun
pada kenyataannya wujud fisik dari dana BOS tersebut tidak pada sekolah-sekolah
di daerah terpencil. Hal ini terjadi biasanya disebabkan oleh masalah-masalah
klasik seperti hambatan pada transportasi dan komunikasi. Selain itu hambatan
dari manusianya sendiri sering menjadi salah satu alasan pendistribusian dana
BOS yang tidak tersalurkan. Hambatan manusia ini dapat berupa KKN (Korupsi
Kolusi dan Nepotisme) yang dilakukan oleh aparat-aparat yang bertugas dalam
pendistribusian dana BOS sehingga tidak tersampaikan kepada sekolah-sekolah di
daerah terpencil sebagaimana mestinya. Masalah inilah yang sebenarnya sulit
dihindari bila dibandingkan dengan masalah transportasi dan komunikasi, Mengingat
budaya korupsi masih menggerogoti mental bangsa Indonesia di berbagai bidang.
Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di
Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa
membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit
untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang
memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika salah salah indikator program
wajib belajar 12 tahun adalah pemerataan dalam mendapatkan pendidikan, maka
kekurangan guru di berbagai jenjang khususnya SD membuat program wajib belajar
tersebut bisa dikatakan belum berhasil. Banyak daerah yang mengeluhkan
kekurangan guru, bukan jumlahnya yang kurang melainkan distribusi atau pemerataan
guru yang jelek.
Penyebab
utama banyak daerah yang kekurangan guru adalah masalah distribusi guru. Jumlah
guru yang tersedia sebenarnya melebihi dari jumlah yang diperlukan sekolah.
Terjadi ketimpangan dalam pendistribusian guru sehingga pemerataan guru jadi
tidak setara. Apalagi jika ditambah dengan guru-guru honorer, jumlah guru sudah
lebih dari cukup.
Distibusi guru yang tidak merata, ada kaitannya dengan pembangunan yang dilakukan pemerintah tidak merata. Banyak guru memilih mengajar di kota karena selain sarana dan prasanara sekolah memadai, tunjangan yang diterima juga lebih tinggi dibanding di daerah. Sehingga guru memilih dan meminta ditempatkan di kota. Sebaliknya guru enggan untuk ditempatkan di daerah (terpencil) karena sarana dan prasarana yang kurang.
Hendaknya selain melakukan pemerataan jumlah guru, pemerintah juga segera melakukan pemerataan fasilitas yang memadai untuk para guru di daerah. Masalah serius dalam sistem pemerataaan guru ini harus disikapi dan ditangani segera.
Distibusi guru yang tidak merata, ada kaitannya dengan pembangunan yang dilakukan pemerintah tidak merata. Banyak guru memilih mengajar di kota karena selain sarana dan prasanara sekolah memadai, tunjangan yang diterima juga lebih tinggi dibanding di daerah. Sehingga guru memilih dan meminta ditempatkan di kota. Sebaliknya guru enggan untuk ditempatkan di daerah (terpencil) karena sarana dan prasarana yang kurang.
Hendaknya selain melakukan pemerataan jumlah guru, pemerintah juga segera melakukan pemerataan fasilitas yang memadai untuk para guru di daerah. Masalah serius dalam sistem pemerataaan guru ini harus disikapi dan ditangani segera.
Dilihat
dari penjabaran diatas, memang terbukti pemerintah telah mengirimkan guru untuk
daerah pelosok. Akan tetapi hal tersebut menimbulkan banyak kendala. Misalnya
biaya transportasi yang dibutuhkan untuk guru sangatlah mahal. Apalagi untuk ke
tempat terpencil seperti itu dan pengiriman guru dengan system antar-jemput. Jika
guru menetap di daerah tersebut, pastilah tidak kecil bagi pemerintah untuk
mengeluarkan biaya tersebut. Jika seperti ini, apakah sistem pemerintah telah
berjalan dengan baik? Tentu belum. Pemerintah harus lebih cerdas lagi dalam
memberikan perhatian pendidikan untuk daerah terpencil.
Berjalan melintasi jalan setapak di
tengah lebatnya kebun kelapa. Seratus meter, dua ratus meter, lima ratus meter
terlewati, hingga satu kilometer lebih akhirnya bangunan sekolah dasar itu
terlihat dari kejauhan. Berpagar kayu, serta bentuk pintu gerbang amat
sederhana, mengingatkan pagar keliling bangunan SD di film Laskar Pelangi.
Bedanya, bangunan dan cat SD Negeri Tondongito ini sepertinya relatif masih
baru, walau beberapa bagian atap seng terlihat bolong-bolong keropos akibat
pengaruh laut. Inilah rata-rata wajah bangunan sekolah di Pulau Wawonii. Sebuah
pulau di bagian timur Sulawesi Tenggara yang berbatasan langsung dengan luasnya
Laut Banda. Desa Tondongito sendiri adalah salah satu desa di Kecamatan Wawonii
Tenggara, satu dari tujuh kecamatan di Pulau Wawonii yang masuk dalam administrasi
pemerintahan Kabupaten Konawe.
Wawonii Tenggara boleh dikatakan
terbilang tertinggal dibanding daerah lain. Laut adalah satu-satunya akses
termudah untuk mencapai daerah ini. Perahu kayu atau warga setempat menyebutnya
katinting, adalah alat transportasi yang menghubungkan antar desa. Untungnya di
setiap desa sudah ada minimal satu sekolah dasar, sehingga anak-anak desa tidak
perlu menyeberang laut untuk sekolah. SMP pun rata-rata ada satu di desa yang
berbatasan darat sehingga bisa dipakai bersama. “Selepas SMP biasanya yang mau
melanjutkan pilih di Kendari karena walau ada SMA di kecamatan sebelah, tapi
ongkos sewa perahu lebih mahal daripada ongkos kapal ke Kendari,” tutur Pak
Tajudin, Kepala Desa Polara di Wawonii Tenggara. Ya, biaya sewa perahu motor ke
Desa Munse di Kecamatan Wawonii Timur yang jaraknya hanya beberapa kilometer
bisa mencapai seratus ribu rupiah, sementara biaya kapal laut ke Kendari yang
memakan waktu kurang lebih 3,5 jam hanya lima puluh ribu rupiah. Di Kendari
mereka biasa kos atau ikut dengan sanak saudara.
Itu tadi adalah sekilas cerita salah
satu pendidikan yang berada di daerah terpencil. Bisa kita lihat jarak dan
biaya adalah kendala dalam pendidikan di daerah mereka. Sebagai contoh yang
kedua sekolah TK di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta para siswa belajar dengan
kewaspadaan karena takut atap sekolah mereka rubuh saat mereka belajar.
Fasilitas yang ada pun tak mendukung lagi bahkan lebih terlihat tidak pantas
digunakan lagi. Ini hanya sebagian potret dunia pendidikan negeri ini. Betapa
sulitnya masyarakat desa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan layaknya masyarakat
kota.
Haruskah mereka ditelantarkan begitu
saja? Para anggota DPR selalu mengatakan bahwa salah satu anggaran APBN itu
untuk dana pendidikan tapi dengan dua contoh diatas apa itu sudah
terealisasikan? Daripada anggota DPR melaksanakan studi banding ke luar negeri
yang alasannnya karena untuk memajukan negeri ini mending ke daerah-daerah
terpencil melihat bagaimana kelayakan dari sekolah yang ada di desa sehingga
layak dipergunakan. Bagaimana negeri ini akan maju jika orang yang ingin
mendapatkan pendidikan saja sangatlah sulit. Selain fasilitas yang tidak layak
dipergunakan, untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi juga sangatlah
sulit karena alasan biaya yang sangat besar. Dengan biaya yang terlampau besar
itulah banyak anak-anak yang putus sekolah. Padahal salah satu dari mereka
adalah anak-anak yang cerdas dan rajin untuk menggapai masa depan yang
lebih baik.
Pemerintah,
lihatlah mereka, mereka yang ingin sekali mengenyam pendidikan, mereka yang
terlantar tak mendapat perhatian dari engkau, mereka yang mempunyai cita-cita
tinggi, merekalah penerus bangsa…
Mereka
yang kurang perhatian dari pemerintah juga tidak betul mengerti arti pentingnya
pendidikan bagi mereka kelak. Biaya, transportasi, dan jarak yang jauh untuk
menempuh ke sekolah itu menjadi alasan utama bagi mereka untuk berhenti
bersekolah. Apalagi mereka yang bersekolah tidak mengenakan seragam sekolah
layaknya siswa yang lain, membuat mereka minder untuk bersekolah. Hal ini sebenarnya
masih bisa diatasi oleh pemerintah. Misalnya saja diadakan pengiriman guru ke
daerah terpencil dan disana guru tersebut benar-benar mengabdi untuk memberikan
jasa terhadap anak-anak pelosok. Tentunya pemerintah tidak asal dalam memilih
guru-guru tersebut. Mungkin pemerintah bisa adakan pelatihan khusus bagi calon
guru yang akan dikirim. Hal ini mungkin tidak akan memakan banyak biaya
dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan sekolah-sekolah yang bukan di daerah
pelosok. Bisa juga ditambahkannya perpustakaan di daerah tersebut. Ini supaya
program pemerintah tersebut benar-benar efektif.
Dari
kita yang berada didaerah yang banyak tersebar sekolah-sekolah sesuai
keinginan, dan “mereka” yang berada di daerah terpencil. Dengan buku-buku
sekolah yang sudah tidak terpakai, kita bisa menyumbangkannya ke teman-teman
pelosok yang membutuhkan. Ditambah lagi , pemerintah bisa mengirimkan seragam
sekolah buat mereka. Hal ini pasti tidak akan sia-sia dan sangat bermanfaat
sekali bagi mereka. Kita semua yang wajib dan berhak mengenyam pendidikan di
bangku sekolah haruslah sama rata dalam pemberian pendidikan yang layak. Toh
kita semua merupakan generasi penerus bangsa, dan sudah sepatutnya pemerintah
tanggap dalam hal ini.
Pendidikan adalah hak “kami”
“kami” berhak bersekolah
“kami” lah penerus bangsa
Hidup penerus bangsa!
Hidup anak Indonesia!
pemerintah yang baik adalah pemerintah yang memperdulikan rakyatnya bukan memperdulikan kepentingan pribadi dan bukan membanggakan statusnya sebagai pejabat pemerintah dengan mobil mewahnya.
ReplyDelete