ditulis Oleh : Muwaffiqol
Fahmi Al-muttaqin
Hembus angin sore mulai terasa
menusuk tulang. Dingin. Letih sekali sejak tadi mengedarkan pandang ke
kanan-kiri tak juga kutemukan alamat yang kucari. Pintu belakang angkot biru yang dibuka penuh membuat
angin dengan leluasa memaksa bulu-bulu kulitku berdiri. Walaupun sudah dua
tahun lebih aku tinggal di kota ini, tak pernah aku menghafal nama-nama jalan.
Angkot yang kutumpangi berhenti
sejenak di sebuah perempatan, menunggu lampu merah berganti warna. Dua anak
kecil dengan kaos oblong hitam dan oranye, bawahan celana kolor selutut
membunyikan ecek-eceknya lalu mulai mendendangkan sebuah lagu, entah lagu apa
tak begitu jelas kudengar. Mereka sedikit kaget melihatku duduk manis
dihadapannya.
“Loh mas, mau ke mana sampean mas?
Nggak ke sini lagi ta mas?”
Tak hanya mereka, pun aku juga kaget
bertemu anak-anak itu di sini. Memang ini hari sabtu, tapi aku tak ada rencana
mengunjungi mereka sebenarnya. Sedikit tersenyum kubalas tatapan ramah mereka.
“Minggu depan insyaAllah. Gimana UTS
mu? Belajar, ngamen aja kerjaannya!”
Belum sempat mereka menjawab, angkot
sudah kembali berjalan.
“Aku duluan ya dik, jangan lupa
minggu depan, ajak temen-temenmu yang banyak!”
“Iya mas!”
Ah, sudah hampir dua minggu aku tak berjumpa mereka.
Anak-anak SD yang
menghabiskan separuh harinya mengamen di perempatan Kaliurang, Kota Malang.
Selain mereka berdua, cukup banyak anak lainnya yang biasanya mangkal di sana dengan
ditemani ibu mereka, ada
juga yang sudah SMP. Yang tidak sekolah pun juga ada. Sebuah perempatan yang
cukup ramai dan tak begitu jauh dari rumah mereka.
Biasanya tiap sabtu sore aku dan
teman-teman mengunjungi mereka, belajar pelajaran akademik bersama atau berbagi
pengetahuan tentang berbagai hal menarik yang kami ketahui entah dari sekolah,
internet, buku, majalah, jurnal, dsb. Sekadar sharing, menyanyi bersama, atau
bermain-main sekenanya yang penting bersama kita senang.
Berawal dari community service yang merupakan program sekolah, sudah hampir
setahun ini aku dan teman-teman menyempatkan waktu untuk mengunjungi mereka. Biasanya
sekali dalam seminggu walaupun pada awalnya tidak terlalu sering. Sedikit
mengenal mereka lebih dalam membuatku memahami sesuatu. Mereka, anak-anak itu
ada di sana karena dengan begitu orangtua mereka merasa sangat terbantu
ekonominya walaupun sebenarnya orangtua mereka juga masih prima fisiknya. Ibu
mereka biasanya hanya duduk-duduk di emperan sebuah toko yang tutup, menjaga
anak-anaknya agar tak ditangkap satpol pp atau dijahili anak jalanan lain yang
lebih tua.
Maindset anak-anak itu pun berubah.
Mereka yang awalnya sangat gemar bermain layaknya anak-anak pada umumnya,
kemudian menjadi anak yang mata duitan. Mereka kena pengaruh pergaulan jalanan,
bertemu anak-anak jalanan lain yang lebih tua, yang merokok, minum minuman
keras, berkata kotor, mereka berbagi pengalaman nakal yang kemudian
menginspirasi anak-anak itu untuk melakukan kenakalan itu.
Mereka sebenarnya anak yang baik,
namun lingkungan mendidik mereka dengan kurang baik. Mulai dari lingkungan
keluarga; orangtua yang kurang sadar akan pentingnya pendidikan baik pendidikan
akhlak, karakter, maupun akademik, dan menganggap uang jauh lebih penting dari
pendidikan anaknya. Lingkungan sekolah; guru yang kurang peduli atau perhatian kepada
mereka karena memberikan kepedulian lebih pada keadaan murid tak akan berpengaruh
pada gaji bulanannya. Juga lingkungan “bermain” yang tidak semestinya.
Akibatnya mereka menjadi anak-anak
yang temperamen, tidak dapat berpikir visioner jernih dan terbuka layaknya
anak-anak pada umumnya, karena yang ada
di pikirannya hanya mendapatkan uang dan uang saja. Mereka tidak mau berusaha
keras untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan; hanya tinggal membunyikan
ecek-ecek lalu menengadahkan tangan, sudah dapat uang banyak. Terbukti mereka
menolak ketika ku ajak berjualan. Mereka bilang dulu sudah pernah melakukannya
(entah benar entah tidak) namun keuntungannya sedikit.
Sempat kuberi mereka penjelasan; “Kalau
kamu ngamen, sehari rata-rata dapat Rp. 50.000,- , ya udah berhenti sampai di
sekitar angka itu saja, tidak akan berkembang penghasilamu, terus di lain sisi
kamu dipandang rendah sama orang-orang di sekitarmu, diremehkan, dihina-hina di
dalam hati mereka. Tapi beda kalau kamu mau usaha, kamu jualan, oke lah mungkin
hari pertama cuma untung Rp. 10.000,- , tapi besok, besoknya lagi pasti
keuntungan itu akan bertambah, jadi Rp. 30.000,- , lalu Rp. 50.000,-, usahamu
berkembang lagi, tambah untungnya jadi Rp.100.000,-, begitu!”
Ya, kupikir berjualan itu masih jauh
lebih baik dari pada mereka hanya mengamen dan menjadi asing dengan berusaha
keras. Setidaknya berjualan akan membuat pemikiran mereka berkembang. Karakter pantang
menyerah dan selalu optimis akan mereka dapatkan. Ilmu-ilmu bisnis akan mereka
peroleh secara langsung. Kutekankan hal ini pada dua anak kelas 9 SMP yang akan
lulus, dari pada mereka tak dapat melanjutkan ke jenjang sekolah diatasnya,
lalu hanya berjalan-jalan gontai di perempatan.
Anak-anak SD itu entah paham atau
tidak dengan perkataanku, sepertinya mereka paham, namun mereka juga paham
kalau orangtua mereka tidak akan mengijinkannya untuk resign dari profesi mengamennya. Yah, itulah susahnya berurusan
dengan orang-orang yang kurang terdidik. Namun kita tak bisa menyalahkan mereka
juga. Memang pendidikan yang mereka dapatkan hanya sebatas itu, hingga akhirnya
pun begitulah mereka memandang hidup mereka dan mengarahkan pandangan hidup
anak-anaknya. Pada akhirnya kita akan menjadi bangsa yang tidak punya
impian besar, semakin tua tidak semakin maju malah semakin mundur. Itulah
mengapa memberikan pendidikan yang baik kepada semua anak-anak ibu pertiwi
menjadi sesuatu yang
penting dan mendesak untuk dilakukan.
Kawan! Sekarang sudah saatnya kita
sebagai manusia yang terdidik menjadi manusia yang berguna bagi mereka,
saudara-saudara sebangsa kita yang kurang mendapatkan pendidikan. Sadar atau
tidak, mendidik mereka sebenarnya merupakan tanggungjawab kita sebagai orang
yang terdidik. Bangkitkan mimpi-mimpi mereka yang telah terkubur karena
setiap manusia berhak untuk bermimpi.
Lihat di
sekeliling kita, berapa banyak anak jalanan yang kita telah lihat hari ini.
Bagaimana keadaan mereka? Bagaimana mereka diperlakukan oleh germonya? Mendidik
mereka, kedengarannya sederhana dan mudah, namun begitu banyak tantangan yang
akan kita dapatkan, begitu banyak bahaya yang siap melindas jika kita tidak kuat. Namun, itu
adalah tanggungjawab kita. Kita tak bisa menyalahkan mereka karena memang
pendidikan yang telah mereka
dapatkan menjadikan mereka seperti itu. Kalau kita menyalahkan mereka berarti
kita menyalahkan diri kita sendiri. Kalau kita mencemooh mereka berarti kita
mencemooh diri kita sendiri. Semakin banyak ilmu seseorang, semakin besar pula
tanggungjawabnya. Apapun
profesi kita, seberapa pun ilmu yang kita miliki, semoga dengan membagikannya
pada anak-anak negeri yang tersisih, menjadi sebuah langkah signifikan untuk
kemajuan bangsa ini.
Kehidupan
semakin keras dan semuanya terlihat seperti tidak pernah stabil. Tapi,
bukankah pendidikan membuat kita memahami tentang cara menghadapinya? Fakir
miskin dan Anak terlantar dipelihara oleh negara. Ya, seperti inilah
pemerintah negara kita mendidik mereka. Namun cuma
bisa menyalahkan hanya
akan membuat kita terlihat seperti orang yang tidak terpelajar. Kita harus
melakukan sesuatu. Justru sebenarnya kita pun adalah pihak yang pantas untuk
disalahkan dalam permasalahan ini. Kita belum dapat sepenuhnya memenuhi
tanggungjawab kita sebagai orang terpelajar, orang yang terdidik dengan baik,
terhadap mereka yang kurang terpelajar.
Bayangkan jika semua anak
indonesia terdidik dengan baik, semua pengamen dan anak jalanan mempunyai
impian besar dan mulai menapak untuk meraihnya. Terdengar seperti suatu hal
yang tidak mungkin memang. Namun ketidakmungkinan itulah yang akan kita
mungkinkan. Walaupun
aku belum membuktikan
sepenuhnya, ada
seseorang yang bisa kita jadikan contoh, dialah Agustinus Tedja karuna
Bawana. Seseorang
yang begitu kukagumi dalam hal ini. Beliau mendirikan JKJT, Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur,
dan mendidik lebih dari 700 anak jalanan di hampir seluruh daerah di Jawa Timur.
Kita tak perlu menjadi seperti beliau untuk menunjukkan perhatian kita pada nasib anak-anak negeri
ini yang tersisih, yang tidak mendapatkan pendidikan dengan baik.
Sedikit waktu yang kita curahkan untuk mendidik anak-anak itu pun sudah sangat
berarti. Ketika berada di kendaraan umum, di tempat-tempat umum ketika kita
bertemu mereka, berkenan sedikit memberikan pendidikan untuk mereka, itu saja
sudah cukup. Namun bagi anda yang masih kurang dengan nilai cukup, mari
bersama-sama kita mendidik mereka lebih
intensif dengan cara kita sendiri-sendiri. Jadikan bangsa ini menjadi bangsa yang
besar, bangsa yang
memiliki kepedulian sosial yang tinggi, bangsa yang memiliki
anak-anak terpelajar yang
memiliki impian besar,
bangsa yang tak pernah lelah untuk belajar.
Untukmu Pertiwi, tak akan pernah kami membiarkan engkau terus menangis.
Menatap selindir putra-putri bangsa, yang kian tersisih oleh waktu. Di atas apa
yg menjadi proses berbangsa, kami memang terpinggirkan. Tapi demi bangsa, kami
mau tetap berjuang bersama dan kami akan tetap bangkit demi sang saka merah
putih. (Lirik lagu ‘Kebersamaan’ oleh JKJT Voice)
“Mendidik bukan
hanya tugas para guru, melainkan tugas semua orang yang terdidik : Anis
Baswedan”
Comments
Post a Comment