Skip to main content

Menghitung yang Satu, Melupakan yang Seribu


oleh : Edi Subkhan (juri Esai SIA20120)
Coba kita ingat-ingat dan lihat-lihat latar kehidupan sekeliling kita lebih jeli, tidak usah jauh-jauh tatap saja layar televisi kesayangan “kita” (hmm..), tiap detik kita disuguhi oleh aktivitas menghitung yang satu dan melupakan yang seribu. Apa maksudnya? Bukannya ingin berfilosofi, tapi saya ingin coba masuk pada arena perdebatan ideologis dari pintu yang berbeda dan semoga tidak membuat pusing atau tambah bingung.
Begini saudara-saudara! (hehe…) Beberapa waktu lalu ada acara pada salah satu televisi swasta yang disebut Indonesia Mencari Bakat (IMB). Yah semacam kontes idol-idolan, dulu ada yang namanya Indonesian Idol (RCTI), Kontes Dangdut Indonesia (TPI), Akademi Pelawak Indonesia (TPI, sekarang TPI sudah almarhum), dan banyak lagi lainnya. Dari beribu-ribu peserta yang mendaftar Indonesia Mencari Bakat misalnya, hanya dipilih beberapa kelompok yang harus unjuk gigi menghibur pemirsa hampir tiap hari.

Dari beberapa tersebut, akhirnya hanya dipilih satu sebagai “yang terbaik.” Yang lainnya, yakni yang beribu-ribu itu tidak dihitung, tidak dianggap. Mungkin satu-satunya yang “dianggap”—tepatnya dihitung—dari pihak penyelenggara kontes idol-idolan semacam itu adalah uang pendaftarannya saja. Bayangkan berapa ribu orang yang mendaftar dan kira-kira berapa untung yang ditangguk panitia. Bakat-bakat lainnya tidak dihitung, padahal bisa jadi selain Klantink lebih banyak pengamen jalanan lain yang karyanya orisinal dan mewakili nafas perjuangan hidup kaum terbuang. Tidak kalah banyak juga anak-anak yang bercengkok seriosa, pop, atau malahan dangdut di sekitar kita, tapi jelas mereka tidak dihitung. Proses kreatif, perwujudan ide-ide, gagasan, pergulatan batin, keseriusan, keuletan, dan perjuangan  mereka tidak dianggap. Mereka tidak dianggap berbakat oleh para juri. Yang dielu-elukan, yang ditunggu-tunggu, yang dimintai tanda tangannya, tentu yang juara yang satu, bukan yang seribu. Seakan satu-satunya kehidupan adalah di panggung televisi itu, denyut nadi kehidupan lain yang tidak ditangkap kamera dianggap tiada.
Bakat bagi para juri tersebut tiada lain adalah something eye cacthing (halah…), enak didengar, intinya adalah yang layak jual, bisa jadi komoditas dagang dan akhirnya mendatangkan untung besar. Kalau yang ikut mendaftar saja tidak dianggap, yakni yang kalah kompetisi, apalagi anak-anak kampung yang bersuara bagus, namun karena tampang pas-pasan dan tidak bisa menyanyikan lagu-lagu pop maka tidak dianggap sebagai berbakat. Itu masih belum lagi kalau kita menghitung bakat-bakat alami selain tarik suara, ada bakat gambar, bakat akting, bakat orasi, bakat sepak bola, bakat lari cepat, bakat main yoyo, main gundu, main kasti, petak umpet, gobag sodor, engklek, dan seribu bakat lainnya. Mereka dianggap tidak ada, yang ada hanya yang menang kontes idol-idolan. Jadilah semacam kastanisasi bakat, bahwa bakat akting dan menyanyi lebih tinggi ketimbang pidato dan main yoyo. Loh!? Katanya demokrasi, kok melahirkan kelas-kelas sosial berbasis bakat?
Jadi, kalau Anda punya group hadrah, rebana, shalawatanmocopatan, ketoprak, atau ludruk ya jangan harap bisa masuk dan jadi juara di kontes-kontes televisi itu, karena tidak layak jual, atau bahkan dianggap ndeso, tidak modern, tidak keren, tidak cool.
Sekarang lihat koran-koran, kolom opini utamanya. Kita selalu membaca nama-nama mentereng dengan bahasa cendekiawan yang menawan mampu memikat pembaca ketika mengungkapkan gagasan dan ide-ide briliannya, juga kritik-kritik pedasnya pada penguasa. Kita hanya melihat satu, dua, dan tiga artikel saja dengan melupakan dan bahkan tidak menganggap ratusan dan bahkan ribuan artikel yang dikirimkan oleh ribuan orang namun dianggap tidak layak terbit dengan alasan tertentu.
Seakan-akan ribuan orang tersebut tidak punya ide dan gagasan yang brilian, seakan-akan tulisan mereka tidak bernilai. Padahal bahkan di luar mereka yang berusaha keras tiap minggu atau bulan menulis artikel agar dimuat di media, amatlah banyak para cerdik cendekia, para intelektual organik, yang betul-betul menyumbangkan dirinya, pikirannya, tenaganya, waktunya, uangnya, untuk selalu bersetia menjaga nilai kebenaran di tengah badai pragmatisme dan oportunisme. Yah, memang realitas jamak menujukkan bahwa sebagian besar orang akan menganggap Anda tidak hebat kalau Anda belum menulis di koran-koran.
Lalu coba kita lihat lagi televisi-televisi kita, teramat banyak intelektual selebritis yang diorbitkan dan memanfaatkan televisi sebagai media mempopulerkan dan melambungkan nama mereka. Ditalk show-talk show, debat, atau mungkin sekadar tamu Bukan Empat Matanya Thukul mereka olah ketangkasan gagasan, bersilat lidah tentang etika dan moral. Kita hampir selalu melihat mereka sebagai bintang intelektual, dan kemudian lupa betapa banyak mereka yang tidak pernah disorot kamera, yang bisa saja pemikiran dan aktivitasnya justru lebih hebat ketimbang para intelektual selebritis itu. Kita lupa tidak pernah menghitung mereka, tidak menganggap mereka sebagai intelektual, tidak menghormati mereka. Seakan-akan satu-satunya realitas intelektual adalah yang bisa nangkring di televisi dan ruang-ruang seminar juga tenar di koran, realitas lain dianggap tak ada.
Atau sekarang lihat di kampus-kampus, amat banyak kompetisi ilmiah mahasiswa. Dari begitu banyak proposal dan karya tulis yang masuk, kampus hanya menghitung juara satu, yah maksimal dua, tiga dan juara harapan. Beribu-ribu proposal yang tidak lolos dan dianggap tidak layak jadi nomor satu sama sekali tidak dihitung. Mahasiswa yang membuatnya tidak pernah dianggap ada, yang ada hanya proposal dan karya tulis sebagai perwujudan gagasan dan ide-ide mereka. Baru kalau proposal dan karya tulis tersebut dianggap bagus, maka si pembuatnya dianggap, dihitung, dihargai, dihormati. Seribu proses olah nalar, olah rasa, bahkan “olah raga” di balik pembuatan proposal dan karya tulis tersebut tidak dihitung, tidak dianggap. Kalaupun dianggap, maka dianggap sebagai tiada dan sia-sia. Kenapa? Ya karena tidak bisa jadi juara satu, karena kita hanya menginginkan juara-juara saja kata Cak Nun, yang dengan demikian membuang-buang yang bukan juara.
Dosen-dosen kemudian berkata klise untuk menghibur para mahasiswa yang kalah kompetisi tersebut, bahwa “yang penting prosesnya, jangan khawatir tahun depan bisa ikut lagi, semoga bisa menang..” Loh? Ini gimana ceritanya, katanya yang penting proses, kok di akhir kalimat malah ikut-ikutan menyatakan secara implisit bahwa yang penting adalah yang menang, yang juara, lalu prosesnya dikemanakan? Dan buktinya jelas, bahwa yang dihargai yakni yang mendapat piala dan “uang pembinaan” juga tetap yang juara satu, dua, tiga dan harapan, yang lainnya tetap tak dianggap. Realitas mahasiswa yang punya berjuta ide tidak dianggap, yang dianggap hanya yang juara, yang dapat piala. Biasanya juga hanya yang juara itulah yang disapa oleh Rektor, professor dan konco-konconya dari kalangan elite “pemegang ororitas intelektual.”
Coba lihat juga iklan-iklan undian berhadiah, iming-iming hadiah satu miliar, rumah mewah, mobil keluaran terbaru dan lainnya. Lagi-lagi yang dihitung dan dianggap adalah yang satu, yang menang undian, yang juara. Lainnya yang juga ikut tapi tidak beruntung tidak dianggap. Tapi kita silau pada yang satu tersebut, lalu beramai-ramai ikut lomba dan kompetisi untuk menjadi yang satu, agar dianggap, agar dihormati, terkenal dan dapat hadiah. Seakan-akan mudah benar dapat hadiah bermiliar-miliar itu. Setelah ada satu pemenang maka di-publish rame-rame di media, seakan ia menjadi satu-satunya realitas, dan realitas lain yakni mereka yang tidak beruntung tidak dianggap. Kita kemudian jadi lupa bahwa kita adalah bagian dari yang lain tersebut, yang tak dianggap dan ingin menjadi yang dianggap.
Dalam ranah sastra juga demikian, setali tiga uang, tiada beda. Cak Nun dalam Menerba Budaya Tanding (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995) sudah lebih dulu gelisah dengan fenomena tersebut. Okelah, saya kutipkan agak panjang di sini dari bukunya tersebut halaman 149.
Dolan ke daerah-daerah, di Jawa ini maupun di pulau lainnya, bertemu dengan penulis-penulis puisi selalu saja ada. Tak usah dipersoalkan apakah mereka perlu disebut penyair atau tidak, tetapi kita juga tak bisa begitu saja menghitung mereka sebagai anak-anak remaja yang kebetulan jatuh cinta atau patah hati atau putus sekolah sehingga menulis puisi. Kalau boleh sedikit omong besar, dari dolan-dolan ke daerah itu saya bagaikan menjumpai “seribu Chairil” tetapi “tanpa seorang Jassin” pun. Tanah-tanah bersepuh emas bertebaran di mana-mana, namun tak ada “orang kota” yang turun buat menggalinya dan menggosoknya.
Lomba penulisan puisi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menampung hampir 5000 biji sajak. Lomba penulisan puisi popular di Surabaya mencatat hampir 3000. Lomba-lomba lain diadakan ini-itu dan menjumpai kuantita yang tinggi. Lomba baca puisi pun diikuti ratusan remaja, ratusan anggota ABRI, ratusan Ibu-ibu, tanpa menghitung lomba-lomba 17-an di tingkat RT atau RK dan sekolah.
Di antara mereka hanya satu-dua, kemudian lenyap. Kumpulan diterbitkan, kemudian tertimbun oleh peristiwa-peristiwa. Sebab kita hanya butuh juara-juara. Kita hanya mau yang terbaik. Kita hanya menghitung nucleus-nucleus.
Chairil adalah representasi yang lain, yang di pinggir, yang abnormal, yang tidak masuk lingkaran kompetisi, dan ia didikan alam, sedangkan Jassin adalah wakil dari yang “mainstream,” yang normal, yang dianggap punya “legitimasi” dan ia dididik oleh dunia akademik resmi. Banyak di antara kita adalah Chairil kecil yang membuat puisi cinta, sajak-sajak patah hati, roman picisan, namun tidak dianggap, karena tidak lolos ketika dikirimkan ke koran-koran, tidak lolos festival kreasi dan baca puisi, tidak dikumpulkan dalam bentuk antologi puisi dan tidak punya duit untuk menerbitkannya sendiri. Oleh karenanya, tidak banyak sastrawan yang menyapa, apalagi menganggap kita, paling yang disapa adalah mereka yang menang lomba-lomba saja.
Fenomena yang dulu ada tersebut sampai sekarang tetap ada, dan bahkan makin menjadi-jadi dalam banyak ruang privat dan publik kehidupan kita. Ini adalah soal praktik pemusatan kebudayaan, praktik politik legitimasi realitas tunggal, dengan menafikan lokus-lokus kebudayaan lain, menghilangkan realitas lain yang tidak kalah bernilai dan berharganya daripada yang dianggap “pusat” dan “legitimate” itu. Cuma sekarang fenomenanya menjadi sudah sedemikain kompleks dan masuk dalam benak nalar privasi kita. Kalau dulu soal puisi dan sajak hanya dianggap “barang Kota,” hingga fenomena pusat dan bukan pusat, budaya tinggi dan budaya rendah dan sejenisnya tidak banyak hadir di tengah keluarga dan hadapan kita, namun sekarang fenomena tersebut adalah bagian kehidupan kita sehari-hari, tentu dalam bentuk yang berbeda. Kalau dulu diskursus itu muncul karena kepentingan rezim-rezim sastra dan kebudayaan, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) misalnya, dengan motivasi-motivasi untuk menjadi pusat, senioritas, infiltrasi politik penguasa dan sejenisnya, maka sekarang diskursus itu muncul karena hadirnya modal besar di balik proses penciptaan idol-idol baru dengan motivasi-motivasi cari untung material semata.
Dampak dari pemusatan dan penafian realitas plural tersebut bagi kerja-kerja intelektual, kebudayaan, dan kemanusiaan lainnya tentu tidak sehat. Bukan hanya menganggap bahwa yang seribu itu sebagai tidak ada dan oleh karenanya tidak dihargai, tapi juga menjadikan yang seribu tersebut masuk dalam pusaran praktik pemusatan realitas dan legitimasi tersebut. Jika kita mau agak menukik pada soal ideologi, maka ini adalah bentuk nyata dari apa yang disebut sebagaimonoculture dalam tata nilai budaya modernitas. Ruang bebas demokrasi yang didengung-dengungkan oleh cita-cita peradaban modern ternyata telah melahirkan paradoks berupa gerak sentripetal ke arah satu realitas budaya dan legitimasi. Oleh karena itu, para pemikir postmodern menolaknya sembari membuat gerakan sentrifugal dari pusaran pemusatan tersebut, membangun apa yang disebut sebagai narasi-narasi kecil (Lyotard, 1979).
Pada gerak inilah sejarah-sejarah kecil, lokalitas, keunikan-keunikan, dihargai, dianggap dan dinilai sungguh-sungguh. Terlepas dari gagasan-gagasan postmodern tersebut, maka hendaknya kita paham dan kritis terhadap lingkaran-lingkaran (baca: komunitas) kita sendiri dan juga di sekitar kita. Bahwa mestinya pusat aktivitas dan kehidupan kita bukan “di sana”, tapi “di sini,” bahwa realitas kebudayaan dan intelektual itu bukan hanya kontes idol-idolan di televisi, bukan hanyatalk show dan kolom-kolom opini media massa, bukan pula hanya kompetisi ilmiah di kampus-kampus. Tiap kita dan Anda punya lingkaran sendiri yang setara derajatnya dengan yang ditelevisi-televisi itu, dan bahkan bisa jadi lebih berkualitas. Imbas mentalitas rendah diri, tidak percaya diri, merasa tidak mampu, merasa tidak berharga—karena tidak menjadi yang satu yang juara—harus dienyahkan.
Dan jangan Anda anggap bahwa putaran kehidupan Anda ditentukan oleh mereka para juri kontes idol-idolan itu, pusat kehidupan dan aktivitas Anda sekali lagi bukan “di sana,” tapi “di sini.” Perayaan besar-besaran nan glamour serta penghargaan besar yang diberikan bagi para juara kontes idol-idolan tersebut memang pada akhirnya menyedot perhatian kita, dan seakan menarik dan membenamkan kita pada satu dunia bahwa segala aktivitas dan pusat kehidupan kita ditujukan untuk menjadi juara dan pemenang. Sebuah dunia yang dibangun di atas kesadaran bahwa hanya yang juara satulah yang dianggap, lainnya tidak dianggap.
Bisa jadi secara ekstrim bisa dikatakan bahwa kontes idol-idolan dan segala macam mekanisme pemusatan realitas dan legitimasi itu adalah pembunuh nomor satu dari kreativitas, ide-ide visioner, dan gagasan besar yang dibawa oleh anak-anak muda negeri ini. Banyak anak sekolahan merasa tidak berharga dan tidak dianggap jika tidak menjadi juara satu di kelas, banyak yang merasa bodoh dan kemudian betul-betul menjadi bodoh, banyak juga yang kemudian menghalalkan segala cara untuk menjadi juara satu, agar dianggap, agar dihargai. Walau begitu, secara personal mungkin memang harus diakui bahwa adanya “pusat” kebudayaan dan intelektual yang disetir oleh modal seperti di televisi-televisi tersebut dapat menjadi cambuk bagi pemacu kreativitas. Kalaupun iya maka kreativitas dan kerja-kerja intelektual, sosial, budaya, dan kemanusiaan kita hendaknya jangan ditujukan untuk larut dalam pusaran “pusat” tersebut, melainkan cukup difokuskan pada lingkaran kita sendiri. Justru kalau ikut-ikutan masuk dalam lingkaran “pusat” itu, maka lingkaran kita hanya akan jadi penguat tata nilai ideologis, ekonomi dan budaya “pusat” saja. Hanya akan membesarkan lingkaran “pusat” itu saja yang akhirnya akan mencaplok lingkaran-lingkaran lain di sekitar kita.
Kalaupun kita berpindah ke lingkaran lain, bukan berarti kita mencaplok dan menghegemoni lingkaran lain itu, melainkan sekadar memperluas aktivitas kita yang tidak mendasarkan pada hasrat pemusatan legitimasi dan hegemoni realitas. Bergerak dari satu lingkaran ke lingkaran lain adalah untuk mengetahui karakteristik dan kekhasan masing-masing, untuk silaturahmi dan saling bantu kebutuhan masing-masing. Kalau memang dibutuhkan ya untuk menyamakan frekuensi dan warna, tapi tidak melebur. Kalau pun melebur dan jadi satu maka harus mendasarkan pada kerelaan diri dengan tanpa ada posisi lebih tinggi antara satu dan yang lain dalam kesatuan itu. Lebih dari itu, paling ideal tentu kreativitas dan aktivitas kerja-kerja kemanusiaan kita janganlah dipacu oleh adanya iming-iming untuk menjadi bagian dari “pusat,” bagian dari yang satu tersebut, melainkan terbit dari dialektika diri kita dengan anasir-anasir pembentuk lingkaran kehidupan kita.
Dus, kalau mau lebih serius lagi melakukan perlawanan terhadap praktik menghitung yang satu dan melupakan yang seribu itu, maka aktivitas dan kerja-kerja intelektual, sosial, budaya dan kemanusiaan kita janganlah dibangun di atas fondasi materi, melainkan rohani atau nilai. Bukan dengan motivasi cari untung oleh segelintir orang, tapi kebermanfaatan dan kebermaknaan untuk semua. Yang satu itu biarlah ia ada sebagai produk mekanisme kompetisi kapitalisme dunia industri, namun yang seribu itulah yang harus kita anggap, kita hitung, kita sapa, kira rawat, kita pupuk, kita sirami, kita besarkan. Bukan untuk menjadi yang satu, bukan untuk jadi juara kontes idol-idolan, bukan pula untuk jadi bintang tamu di talk show di televisi-televisi, bukan untuk tiap minggu artikelnya bisa masuk kolom opini media massa, tapi untuk tetap bersetia menjadi yang seribu yang rendah hati, untuk tetap menjadi rakyat, bukan elite. Ini tiada lain adalah upaya manusiawi untuk memanusiakan yang seribu, bahwa mereka juga subjek, bukan objek, yang subjek bukan hanya yang juara-juara saja, tapi yang lain yang tidak masuk dalam definisi dan mekanisme juara-tidak juara itu. Ada dunia lain, realitas lain yang tidak berjalan di atas logika kontes-kontesan, menang-menangan, melainkan di atas nilai kebaikan, kerjasama, kebersamaan dan kekeluargaan.
Ayolah, Anda itu hebat, tiap orang itu hebat, tidak perlu jadi idol untuk membuktikan kehebatan Anda, tidak perlu menjadi bagian dari skenario “pusat” budaya dan intelektual untuk membuktikan Anda hebat. Toh standar nilai dan prinsip yang dipakai untuk melabeli seseorang hebat atau tidak juga macam-macam, dan semuanya subjektif menurut ini dan itu. Tapi kalau Anda tetap ngotot ingin ikut dalam dunia kompetisi itu ya silakan saja, hanya harus sadar dan siap konsekuensinya untuk banyak menguras emosi, energi, duit, siap kecewa, siap bersuka-suka, siap lupa daratan, siap menjadi bukan manusia, siap berbuat curang, manipulasi, dan sebagainya dan sebagainya…

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Prestasiku Untuk Masa Depan (1)

Eco – Green Hero : Permainan Edukatif Bertemakan Lingkungan Untuk Siswa Sd

Oleh : Gema Wahyudi   A.     BACKGROUND Pendidikan Lingkungan adalah salah satu ilmu tentang kenyataan lingkungan hidup dan bagaimana pengelolaannya agar menjaga dan menjamin kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Pendidikan tentang lingkungan hidup sangatlah penting. Dengan diberikannya  pendidikan ini kepada masyarakat, diharapkan akan muncul kesadaran agar lingkungan tumbuh dan berkembang dengan baik serta menjaganya. Pendidikan lingkungan ini harus diberikan kepada semua tingkat dan umur, baik melalui jalur sekolah maupun di luar sekolah. Semua jenjang pendidikan hingga masyarakat umum harus mendapatkan pendidikan tentang lingkungan hidup, tentunya dengan penyampaian yang berbeda. Pendidikan ini merupakan salah satu factor penting untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan, meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat dalam mencari pemecahan dan pencegahan timbulnya masalah lingkungan. Anak – anak, khususnya di jenjang SD harus sudah

Upaya Peningkatan Kualitas Pendidikan Di Daerah Terpencil

oleh : Partin Nurdiani Pendidikan merupakan wadah penting yang menjadi titik krusial pembentukan mental, spititual, sekaligus intelektualitas bagi generasi bangsa. Berbicara mengenai pendidikan di Indonesia memang tidak ada habisnya. Mulai dari prestasi-prestasi anak didik kita di tingkat nasional maupun international hingga rendahnya kualitas pendidikan di daerah terpencil. Masih kurangnya sarana dan prasarana dan kualitas pengajarnya yang pas-pasan menjadi salah satu faktor penyebab pendidikan di daerah terpencil terkesan tertinggal. Sehingga kemajuan pendidikan di Indonesia hanya terpusat di daerah perkotaan sedangkan di daerah terpencil kurang diperhatikan. Tak jarang kurangnya perhatian pemerintah itu mengesankan bahwa pemerataan pendidikan di Indonesia belum benar-benar adil seperti apa yang tercantum dalam UUD 1945.