ditulis Oleh : Jenny Rahayu
“Setitik langkah untuk berubah dan berbuah”
Geram, aku mendengar wacana perubahan dari berbagai pihak
dan kalangan. Katanya, mau membenahi ini dan itu. Tetapi, semua sekadar wacana
tanpa ada aksi nyata. Dunia pendidikan yang seharusnya membentuk karakter
bangsa telah kehilangan arah. Karena faktanya, diri ini melihat dan merasakan
esensi pendidikan belum sesuai tujuan pendidikan nasional.
Sekolah sebagai institusi pendidikan lebih fokus pada
kecerdasan otak (IQ) tanpa adanya
keseimbangan dengan kecerdasan emosional (EQ).
Parahnya lagi, sekolah justru memberi pengondisian untuk berpaling dari nilai -
nilai budaya dan karakter bangsa. Kecerdasan otak berbanding terbalik dengan
kecerdasan moral dan akhlak. Contoh sederhana yaitu celah - celah korupsi di
sekolah. Hal itu terlukiskan lewat tingkah laku para pendidik maupun pelajar atau mahasiswa. Disini
saya tak ingin menghakimi siapapun. Nilai - nilai budaya karakter bangsa
seperti jujur dan religius terpampang jelas di setiap kelas. Namun, tak ada
perubahan. Buktinya masih banyak saja siswa – siswi yang mencontek. Pengalaman
membuktikan.
Motivasi untuk menjadi teladan, memberiku keberanian untuk
menuliskan segenggam asa yang terpendam. Awalnya tak terpikir untuk mengambil
komitmen "berhenti mencontek"
. Sebuah pelatihan kepemimpinan mengubah paradigma di hidupku. Gelar "duta muda anti korupsi" dari sebuah
lembaga independen mengarahkanku untuk peduli terhadap persoalan krusial
tersebut. Aku percaya, sekecil apapun aksi yang dilakukan pasti berarti. Tak ada yang
sia – sia dalam setiap perjuangan. Aku memang belum bisa untuk menyadarkan para
“rayap negara”. Tetapi, minimal aku
harus menyadarkan diri ini dahulu dan orang – orang di sekitarku.
Besar kerinduanku untuk berhenti mencontek dan tidak memberi
contekan. Tetapi, hingga detik ini belum bisa untuk tidak memberi contekan. Sungguh
aku malu terhadap gelar yang telah aku dapatkan. Aku ingin menjadi teladan.
Bagaimana caranya. Aku harus tegas. Bagaimana mau menjadi teladan. Jika diri
ini masih bersemayam dalam "dunia
contek - mencontek". Mungkin, sebagian diantara kita mengangap ini
biasa. Tetapi, bagiku ini adalah perkara luarbiasa. Karena, para pelaku tidak merasa
berdosa. Seolah - olah, mencontek itu adalah hal yang lumrah. Sah - sah saja.
Secara tidak langsung, mencontek dilegalkan oleh banyak pihak yang mengambil
keuntungan. Atas nama “persahabatan”,
terkadang aku memberi contekan. Ini tak bisa dibiarkan. Korupsi sekecil apapun
itu tidak bisa dibiarkan. Bukankah mecontek adalah bibit – bibit awal korupsi.
Bagaimana bangsa ini mau maju, jika pelajar telah jatuh
cinta pada dunia "contek-mencontek".
Dengan bangga mencuri hasil kecerdasan orang lain. Dimana peran sekolah dalam
menetaskan kasus ini. Pelajar kita telah kehilangan arah. Parahnya lagi, tak
ada contoh sosok yang baik di depan matanya. Andai saja, aku bisa menjadi
teladan. Kusadari, sebelum merubah orang lain aku harus instropeksi diri. Aku
pun membuat komitmen antara diriku dan Tuhan untuk tidak mencontek. Kiranya,
Sang Pencipta menguatkan hati ini untuk berjalan selaras dengan kebenaran.
Berhenti mengikuti arus sesat “contek –
mencontek”. Perlahan tapi pasti, aku
pasti bisa. Kucoba, serahkan semua pada Sang Kuasa. Aku percaya, Ia akan
menolong umatNya bangkit dari dosa. Awalnya terasa berat. Godaan dan rintangan
silih berganti. Namun semua akan menjadi mudah ketika aku bersedia melalui
jalan itu.
Tatkala, aku menulis ini. Tiba – tiba teringat pengalaman
Ujian Nasional (UN) 3 tahun yang lalu.
Tepatnya, ketika diri ini kelas 3 SMP (Sekolah Menengah Pertama). Bocoran
jawaban UN di depan mata. Sempat
terpikir, untuk menerimanya. Namun, tidak jadi. Aku telah belajar dan berdoa untuk
menghadapi ujian itu. Jika aku menerima bocoran itu, sama saja aku menjual
harga diriku dengan sekotak kebahagian semu. Aku juga mengingkari Kebesaran
Tuhan dan mempermainkan-Nya. Buat apa kita berdoa sebelum UN, jika pada
kenyataanya kita mengandalkan kekuatan “bocoran
jawaban”. Berdoa kepada Tuhan, tetapi kok
meminta jawaban pada setan. Mencontek, mengandalkan bintang kelas, atau “bocoran jawaban” merupakan ciri
pengingkaran kita terhadap Dia. Jika memilih jalan sesat itu, lebih baik tidak
usah berdoa. Akhirnya, dengan tegas aku menolak “bocoran jawaban” itu.
Berangkat dari pengalaman itu, kucoba untuk menerapkannya di
dunia pendidikan yang kini kujalani. Aku tidak boleh berhenti sampai disini.
Aku juga tidak boleh memberi contekan. Bukan…bukannya kau pelit. Aku hanya
ingin mengirit dosa. Dengan memberi
contekan, berarti aku telah membiarkan orang lain jatuh ke dalam dosa. Hanya
orang jahat yang akan membiarkan kejahatan ada di depan matanya. Bukan hanya
dia yang berdosa, tetapi aku si pemberi contekan juga ikut berdosa. Tidak
memberi contekan lebih rumit daripada tidak mencontek. Karena, ada dua pihak
yang harus dijaga. Ada perasaan orang lain yang sulit untuk diberi pengertian.
Tidak semua temanku mengerti keputusan ini. Bahkan untuk memberi pengertian
pada teman akrab pun sulit. Kuyakinkan diri untuk berkomitmen dengan teman
sebangku, namanya Regari Fuji.
“Jika aku bertanya, tolong JANGAN
dijawab”
Yah, ketika ulangan tiba kalimat ini terekam dalam memori
hatiku. Semoga saja, ia juga merekamnya
dalam memori hati nurani. Maksudnya disini adalah bertanya jawaban atau cara
menyelesaikan soal dalam setiap ulangan. Tidak boleh ada diskusi dalam ulangan.
“Maaf, aku tak bisa menjawab
pertanyaanmu dalam ulangan”
Kalimat ini berarti aku tidak akan memberikan dia contekan
ketika ulangan. Aku berharap ia mengerti. Hasratku ingin berubah dan berbuah menjadi
pribadi yang lebih jujur harus tergambar di setiap ucapan dan tindakan.
“Ntar, kalo ulangan umum aku puasa
Jen”
Begitulah kata temanku Regari. Ia berusaha menghindari
memberi contekan pada teman dengan berpuasa. Biasanya, teman – teman akan
mengerti dan menyerah untuk bertanya pada orang yang sedang berpuasa. Menyerah
secara terpaksa dengan muka kesal. Apalagi mengingat temanku itu adalah seorang
muslim yang taat. Bagaimana dengan diriku. Aku tak bisa memakai senjata “puasa” sepertinya. Karena, cara itu telah
kucoba. Namun, belum berhasil. Tak ada yang percaya, aku sedang berpuasa.
Pasalnya, aku seorang Nasrani. Menurut mereka, jarang orang Nasrani berpuasa. Padahal,
faktanya tidak seperti itu. Menyadari keadaan di sekeliling, aku mencurahkan
isi hati ini pada Tuhan yang Maha Esa.
Aku tak bisa mengandalkan puasa untuk tidak memberi contekan. Aku harus memiliki
pagar perlindungan yang tak terpatahkan. Dalam setiap keadaan aku harus
mennjadi teladan.
Sekarang, aku mungkin dikenal pelit karena tidak memberi contekan.
Menutup telinga rapat – rapat ketika ulangan tiba. Mengumpulkan hasil ulangan
tanpa memikirkan nasib teman – teman yang belum selesai ulangan. Tetapi, aku
percaya suatu waktu mereka pasti mengerti esensi tindakanku hari ini. Perubahan
tak boleh ditunda – tunda. Jika hari ini bisa, mengapa harus menunggu esok. Aku
harus berusaha memberi pengertian bukan dengan kata – kata. Namun lewat sikap
yang menetas dalam realita.
Semoga saja. Kita terjaga dari perbuatan tidak terpuji ini. Berjuanglah
kawan, untuk mempertahankan kebenaran. Jika yah, katakan yah. Jika tidak,
katakan tidak. Selamat berjuang. Ini semua demi dirimu, demi keluargamu dan
demi bangsamu. Bersedialah untuk melakukannya.
Dari sebutir debu yang ingin berubah dan berbuah
Terus semangat! Budaya contek itu sederhana tapi akibatnya fatal. Bangga masih ada anak muda yang support gerakan anti menyontek :')
ReplyDeletebukan contek dan mencontek mbak, tapi sontek dan menyontek. CMIIW.
ReplyDelete