oleh : Karina Octavira
Seorang
gadis kecil berumur sekitar tujuh tahun berlari sembari menjinjing tasnya.
Namanya Nina, anak perempuan yang tinggal tidak jauh dari kontrakan saya di
Samarinda. Ia memakai pakaian yang sebelumnya belum pernah ia pakai lagi entah
sejak kapan. Hari ini hari pertamanya sekolah, setelah sekian lama tidak
merasakan suasana sekolah. Dulu, ia sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar
di Jawa sebelum pindah ke Samarinda, Kalimantan Timur, namun putus sekolah
tanpa sempat naik kelas. Tak sekolah sekitar satu tahun, saya dan teman-teman
kerap membantunya belajar, walaupun sekadar membaca, mengenal huruf, menulis,
dan berhitung. Kenapa ia tidak melanjutkan pendidikannya di Samarinda?
Alasannya karena masalah administrasi di sekolah lama yang menyulitkannya untuk
melanjutkan sekolah. Tapi sepertinya bukan karena itu saja, mungkin juga karena
orang tuanya.
Sekelumit
cerita yang saya saksikan sendiri, dekat dengan lingkungan saya tinggal. Dan
jujur saja, karena bertemu dan mengenal gadis kecil bernama Nina itulah hati
saya tergerak untuk bisa berkontribusi di dunia pendidikan. Meski sedikit, saya
suka meng-update info-info tentang
pendidikan. Bekal dari organisasi di kampus juga turut mengobarkan semangat
berkontribusi di masyarakat. Dan saya pun bertekad, di manapun saya kelak, saya
akan memberikan yang terbaik agar masyarakat ini menjadi masyarakat yang madani,
salah satunya melalui pendidikan.
Ada
hal menarik yang kerap saya lihat, meski itu di televisi atau membaca artikel
ketika browsing, yakni pendidikan
yang tidak merata di semua kalangan. Hal itu terlihat dari sektor ekonomi,
sangat terasa kesenjangan pendidikan antara yang berada dan papa. Juga dari
sektor geografis, antara yang kota dan desa. Fasilitas pendidikan di kota serba
berkecukupan bahkan terbilang mewah, di samping tenaga pengajar yang juga
membuat ruang guru terasa penuh. Sementara fasilitas pendidikan di desa serba...kekurangan
lagi memprihatinkan dengan guru yang bisa dihitung dengan lima jari. Pernah
menonton film “Laskar Pelangi” atau “Serdadu Kumbang”? Fenomena seperti yang
diceritakan di film tersebut nyatanya masih terjadi sampai sekarang, bahkan
lebih memprihatinkan. Belajar di bawah kolong rumah atau hanya beratapkan
rerimbunan daun di pohon, beralaskan tikar seadanya atau tanpa alas sama
sekali, hanya rerumputan saja misalnya, perjalanan menuju sekolah yang
mengancam jiwa dan keselamatan, tapi sungguh luar biasa semangat dan tekad
mereka, anak-anak pedalaman dan daerah terpencil itu untuk mengenyam pendidikan
meski dengan kondisi dan fasilitas seadanya.
Belum
lagi perjuangan sang guru yang rela mendidik murid-murid di daerah terpencil
itu sembari melawan keterbatasan yang ada. Sebagai seorang guru tentunya
kondisi tersebut menjadi tantangan sendiri, berusaha realistis namun tetap
harus menyemangati dan men-support
anak-anak didiknya dalam belajar. Mereka yang rela membagi ilmunya dengan berpanas-panasan atau behujan-hujan menuju
tempat mengajar yang mungkin jaraknya bisa ditempuh berjam-jam. Sesampainya di
sekolah, harus bersikap bijak menghadapi beberapa kepala yang kadang tak sama
pemahaman ilmunya, belum lagi karena tidak ada tenaga pengajar lain maka harus
sekalian mengajar tidak hanya pada anak-anak, tapi juga orang tua yang lanjut
usia misalnya. Ada juga yang harus menerima perlakuan apatis masyarakat yang
konservatif terhadap pendidikan. Luar biasa. Saya sungguh salut dengan
mereka-mereka yang ikhlas mengajarkan ilmu pada masyarakat tanpa mau dibayar,
tanpa memandang warna kulit dan usia. Tapi, orang-orang seperti itu hanya bisa
dihitung jari.
Coba
bayangkan dan bandingkan dengan fenomena pendidikan di kota. Bayangkan dan
bandingkan...!!! Gedung sekolahnya megah dan mewah dengan fasilitas yang sangat
menunjang, murid-muridnya bergaya parlente, kegiatannya segudang dan dari
sanalah prestasi siswa-siswanya terasah, guru-gurunya? Tidak pernah lagi saya
jumpai guru yang masih berjalan kaki atau mengendarai sepeda ontel ke sekolah,
yang ada bersepeda motor flat putih atau ber-jazz mini dengan warna yang...mencolok mata. Masalah kualitas,
katanya nomor sekian...yang penting ada pekerjaan dan menghasilkan uang. Yang
membuat miris adalah fenomena yang terjadi di kalangan pelajar yang malah
sebagian merusak citra pendidikan Indonesia misalnya tawuran, pergaulan bebas
tanpa batas, narkoba, kecurangan saat ujian. Saya katakan sebagian, artinya di
antara sekian fenomena ganjil itu ada juga pelajar-pelajar yang masih
menjunjung tinggi nilai budaya dan agama.
Ada
apa? Kenapa? Apa yang terjadi? Dari segi pengajarnya, mungkin banyak yang tidak
berminat bekerja menjadi guru. Katanya gajinya sedikit, tapi yang dipikirkan
banyak. Ada yang bilang menjadi guru karena tidak ada kerjaan lain selain
profesi itu alias menjadi guru adalah profesi buangan, mau tidak mau daripada
kelihatan menganggur. Apalagi kalau daerah tugasnya di daerah terpencil, bahkan
masuk ke dalam hutan belantara, siapa yang sudi??? Saya lihat lagi fenomena di
kampus saya, tiap tahun mahasiswa yang masuk ke fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan selalu banyak, urutan ketiga terbanyak setelah fakultas Ekonomi dan
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Kenapa banyak kuotanya? Karena biaya
kuliahnya murah, pelajarannya mudah, menjaga gengsi daripada hanya menenteng
ijazah SMA saja. Sebanyak itu yang masuk, bagaimana yang keluar? Tetap banyak
juga, tapi follow up-nya bagaimana?
Masih saja ditemukan sarjana pendidikan yang menganggur, bekerja tidak jelas,
atau bahkan bekerja tidak di bidang pendidikan. Pada intinya, kembali pada
mitos dan pandangan sebagian orang, menjadi seorang guru berarti mengancam
kesejahteraan, apalagi di daerah terpencil yang belum terjamin memadai.
Permasalahan
tersebut memang klasik. Banyaknya fresh
graduate di fakultas keguruan ternyata tidak menjamin terpenuhinya salah
satu komponen pendidikan yakni tenaga pengajar. Masih banyak daerah-daerah yang
kekurangan guru dan yang menjadi sorotan adalah daerah terpencil. Sekali lagi
saya katakan, Siapa yang mau mengabdi di daerah terpencil? Bisa dibayangkan
dari kondisi masyarakat yang jauh dari kehidupan kota, berpikiran konservatif,
kurang mampu dan kurang maju. Siapa yang bersedia memenuhi kebutuhan sosial
dengan kondisi seperti itu?
Inilah
saatnya, masyarakat seharusnya lebih peka terhadap hal-hal seperti ini,
terutama kaum-kaum intelek seperti pemuda dan mahasiswa. Pemuda dan mahasiswa
adalah kelompok masyarakat yang produktif dan memiliki peluang besar dalam
menggali potensinya, terutama di bidang sosial masyarakat. Pemuda dan mahasiswa
adalah orang-orang yang suaranya banyak didengar oleh pemerintah. Bangsa ini
pun awalnya menjadi bangkit karena peran pemuda di dalamnya. Siapa yang
mendesak Bung Karno untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di masa
penjajahan dulu? Para pemuda Indonesia. Persekutuan-persekutuan cendekiawan
lahir dari tangan pemuda-pemuda Indonesia. Jika semangat masa kemerdekaan itu
tidak kita bawa hingga saat ini, bagaimana bisa bangsa ini mempertahankan
kemerdekaannya? Maka harusnya kita menanamkan pada diri sendiri agar kita melek pendidikan. Jangan hanya
memikirkann kebutuhan sendiri saja, pikirkanlah mereka yang kurang beruntung
seperti kita. Sikap toleran dan peduli itu harus ditanamkan di diri para kaum
muda terhadap kondisi sosial di sekitarnya. Saya mengutip kata-kata salah satu wanita
muda lulusan Universitas Padjajaran yang mengabdikan diri mengajar di kawasan
hutan rimba Jambi, Saur Marlina Manurung, “Saya ingin meyakinkan mereka, bahwa
bagaimanapun pendidikan dapat memproteksi mereka dari ketertindasan dunia luar”.
Luar biasa, bukan?
Dulu,
kita berjuang melawan penjajah. Sekarang, penjajahan itu menjelma menjadi
sebuah dogma-dogma yang melahirkan kebodohan yang sasaran utamanya adalah kaum
muda. Maka, jika kita tak melawannya dengan pendidikan, harus dengan apa lagi?
Terlebih lagi, jika pendidikan tersebut didasari oleh iman dan taqwa. Bayangkan
betapa bangganya kita jika memiliki pemimpin negara dan wakil rakyat yang tidak
lagi korupsi karena takut pada ancaman Tuhan. Orang yang bekerja di dunia jika
tidak berorientasi pada akhirat maka jadilah ia orang yang mengejar nafsu
dunia. Padahal, kemanakah kita menuju di akhir hidup kita? Apakah harta yang
kita kumpulkan selama di dunia akan kita bawa bersamanya? Begitu pula dalam
berkontribusi di masyarakat, kita tidak perlu menghitung-hitung apa yang akan
kita dapatkan secara materi. Yakinlah, bahwa ilmu yang kita ajarkan, sedikit
apapun itu, akan bermanfaat bagi kita dan orang yang kita ajarkan. Dan mengabdi
di masyarakat daerah terpencil, meski banyak tantangannya, setidaknya
memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat di sana, bagaimana mereka mengenal
hakikat hidup, diri mereka sendiri, dan Sang Pencipta. Di kota, sangat mudah
kita jumpai lembaga-lembaga pendidikan berbasis spiritual semacam itu, namun
seharusnya kebutuhan seperti itu tidak terbatas karena masalah geografis saja.
Kadang kita harus menghayati betapa nikmatnya berbagi ilmu untuk kebaikan itu.
Hal
klasik lain yang kerap dihadapi dalam memperjuangkan pendidikan di daerah
terpencil adalah sulitnya akses bantuan pemerintah terhadap daerah tersebut,
entah karena masalah administrasi atau proses teknisnya. Maka, cukup banyak
lembaga-lembaga atau yayasan-yayasan yang bergerak menanggulangi hal ini.
Seperti misalnya Gerakan Indonesia Mengajar yang menyalurkan pengajar-pengajar
muda ke daerah-daerah terpencil, atau lembaga-lembaga lain yang turut andil
dalam membantu menyekolahkan anak-anak daerah terpencil atau mendirikan gedung
sekolah. Lembaga-lembaga seperti inilah yang sebenarnya mampu menekankan pada
pemerintah untuk tidak menyulitkan masalah bantuan pendidikan. Jika kelompok
masyarakat kecil saja mampu bergerak, kenapa pemerintah yang berkuasa atas
semua kebijakan di negeri ini tidak mampu? Dan yang terpenting lagi adalah apa
yang kita berikan kepada mereka yang membutuhkan pendidikan di daerah terpencil
itu. Kita tidak perlu menyamakan sistem pengajaran mereka dengan yang
diterapkan di kota-kota karena hal tersebut tentunya membutuhkan waktu cukup
lama. Cara yang tepat dan relevan lah yang diperlukan agar bisa disesuaikan
dengan kondisi lingkungan daerah terpencil tersebut.
Maka dengan hal itu
semua, pemerataan pendidikan di semua kalangan bukan tidak mungkin terjadi.
Meski berbeda frekuensinya, setidaknya sebagian hak warga negara Indonesia
terpenuhi dengan adanya pendidikan itu. Sehingga apa yang telah mereka dapatkan
melalui pendidikan, dapat mereka pergunakan untuk membangun daerah mereka
sendiri. Banyak cita-cita dan harapan yang tidak cukup hanya dipikirkan, sebab
saat inilah seharusnya kita bergerak. Mimpi akan menjadi lebih bermakna jika
dapat direalisasikan.
Comments
Post a Comment