Oleh : Indra Restu Fauzi
Sejak tahun 1974 hingga sekarang,
Indonesia telah mencoba berbagai macam kurikulum di dunia pendidikan nasional.
Hanya saja proses pembelajaran yang dialami peserta didik tetap sama saja.
Peserta didik terkurung di dalam kelas dan tertekan oleh ujian yang mengancam
bathinnya. Pemahaman pihak sekolah
yang kurang mengenai korelasi antara pendidikan dengan nilai-nilai kemanusiaan hanya menjadikan peserta didik
sebagai kaum intelektual yang semu. Inilah yang menyebabkan dunia pendidikan
nasional kita terjatuh di kesalahan yang sama, meskipun berkali-kali mengganti
kurikulum.
Parahnya
kondisi proses pembelajaran di sekolah yang mengekang peserta didik. Seakan-akan
peserta didik hanya ditujukan untuk sukses dalam ujian saja. Bahkan seorang
guru pun menganggap dirinya berhasil jika peserta didiknya meraih nilai
tertinggi di setiap ujian. Maka perlu kita koreksi, apakah benar kesuksesan
belajar hanya dengan mendapat nilai tertinggi?
Pemaparan mengenai proses pembelajaran di sekolah di atas
cukup mencederai setiap disiplin ilmu terutama pendidikan sains. Proses ini tanpa
sadar telah menyingkirkan aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi dari
sebuah ilmu. Ontologi
adalah pembahasan mengenai apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita
ingin tahu, atau dengan perkataan lain suatu pengkajian mengenai yang “ada”.
Epistemologi merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang benar. Sedangkan
Aksiologi membahas nilai kegunaan ilmu, di mulai dari moral hingga tanggung
jawab sosial ilmuwan[1].
Pada umumnya proses pembelajaran di sekolah telah melupakan ketiga aspek tersebut.
Pendangkalan pembelajaran
sains di sekolah juga harus dihentikan. Pendangkalan ini juga diakibatkan
buku-buku paket yang tidak lebih dari kumpulan informasi dan pengetahuan yang
telah mengalami proses penyederhanaan[2].
Serta semakin diperparah dengan adanya rumus singkat yang
sengaja diciptakan untuk meringkas waktu mengerjakan ujian.
Sains tidak bisa selalu diidentikan dengan
perhitungan rumus-rumus. Padahal berdasarkan runutan sejarah. Di zaman dahulu,
istilah sains atau ilmu alam lebih sering disebut filsafat alam (natural philosophy). Orang-orang
terdahulu mempelajari alam dengan mengamati langsung ke lingkungan mereka sendiri
(laboraturium alami). Kemudian mereka mengumumkan hasil pemikiran mereka
mengenai suatu peristiwa menarik yang telah mereka amati berdasarkan referensi.
Seiring berkembangnya teknologi, dengan hadirnya berbagai macam alat ukur.
mereka mencari referensi dan merancang eksperimen di laboraturium agar dapat
mempelajari suatu peristiwa.
Sains adalah ilmu pengetahuan
yang dibangun atas dasar fakta, memerlukan verifikasi, dan memiliki
keterbatasan validitas[3].
Selama ini pembelajaran sains, misalnya fisika. Guru hanya membiarkan peserta
didik terlatih menurunkan rumus dan meramal secara teoritik. Seorang ilmuwan
terdahulu pun mempelajari sains tidak lewat rumus melainkan dengan cara
mengamati setiap peristiwa-peristiiwa lalu menarik kesimpulan umum dari banyak
peristiwa yang telah diamati. Misalnya Isaac Newton, penemuan hukum gravitasi
awalnya hanya mengamati apel yang terjatuh dan benda-benda langit yang beredar
pada orbitnya.
Sejatinya pembelajaran sains
tidak dimulai dari rumus-rumus yang selama ini membuat malas peserta didik
untuk belajar sains. Pembelajaran sains harus di mulai dari pengamatan di
lingkungan sekitar atau pun pengamatan di laboraturium lalu pembelajaran diakhiri
dengan penarikan kesimpulan atau bisa di sebut dengan penalaran induktif dengan
cara generalisir. Metode ini memberikan kesempatan peserta didik untuk bebas
berpikir dan menyusun kesimpulan mereka sendiri. Aktivitas berpikir ini bisa
menambah daya kreativitas mereka.
Sains dan
Pembentukan Karakter
Prof. Emil Salim bercerita tentang gurunya yang menginspirasinya waktu
kecil yaitu De Jong. beliau adalah Seorang belanda yang sangat mencintai alam. “Pada hari sabtu
tertentu, murid diajak menyeberangi sungai masuk ke hutan lalu ketika masuk
dihutan dan menyeberangi sungai diganggu lintah pacet yang menjengkelkan.
Gurunya meredam amarah murid-muridnya dengan diajak diskusi dan duduk
melingkari gurunya dan selanjutnya gurunya menerangkan dengan menempatkan pacet
diatas daun dan meminta semua muridnya untuk memperhatikan perilaku pacet.
Hasilnya kepala pacet selalu tertuju pada sinar matahari. dari situlah Guru De
Jong menjelaskan bahwa pacet itu adalah kompas alam. Dan bila murid-muridnya
tersesat bisa menggunakan pacet sebagai arah petunjuk mata angin. Lalu guru De
Jong membawa murid-muridnya masuk hutan, mendengar suara beruk bersahutan maka
gurunya menjelskan bila tersesat di hutan dan kelaparan. Carilah suara beruk
dan makanlah apa yang dimakan beruk, karena sistem pencernaannya hampir sama
dengan manusia. Dan hal itu semua telah mengubah pandangan murid-muridnya akan
alam dan lebih menghargai alam[4]”.
Pembentukan
karakter peserta didik tidak cukup tertulis pada silabus berkarakter. Bukan
pula dengan menambah jam pelajaran agama di kelas. Cerita Prof. Emil Salim
mengenai gurunya yang mengisnpirasi bisa menjadi penyadaran untuk setiap guru
di bidang sains. Ternyata sains tidak sekedar menghitung menggunakan rumus
ataupun eksperimen di laboraturium. Sains bisa dijadikan salah satu jalan untuk
menanamkan nilai-nilai kemanusiaan untuk menumbuhkan keimanan peserta didik
kepada Sang Pencipta.
Sangat
disayangkan, gaya belajar yang telah dicontohkan oleh sang guru De Jong akan
sulit dilaksanakan di sekolah formal saat ini. Bukan karena di Jakarta sudah
tidak ada pacet, beruk dan hutan lagi. Sistem sekolah lah yang mempersempit
ruang gerak peserta didik untuk belajar. Evaluasi belajar yang menggunakan
angka membuat guru lebih fokus untuk membantu peserta didik mendapatkan nilai
ujian tertinggi. Wajar jika Ki Hajar Dewantara pernah berkata, “….Sekarang
sebaliknya keadaan pendidikan, yang hanya disandarkan kepada aturan
“onderwijs”dengan caranya “school system”. Makna pendidikan di sekolah
terbelenggu oleh sistem sekolah itu sendiri.
Korelasi
Praktik Sains dan Tujuan Pendidikan
“Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara[5]”.
Siapapun yang memaknai pendidikan tentu akan mejelaskan dengan kalimat yag
baik-baik. Tetapi bagaimana dengan praktiknya?
Praktik pembelajaran sains di
sekolah pada umumnya tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Pembelajaran
sains yang berorientasi pada persiapan ujian lah yang menyimpangkan esensi pembelajaran
sains yang sesungguhnya. Padahal dari penjelasan sebelumnya sains mampu
membentuk karakter dan kreativitas peserta didik.
Misalnya tujuan untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan. Padahal sains
merupakan ilmu yang mempelajari keadaan alam sang pencipta. tetapi peserta
didik hanya diajarkan rumus-rumus abstrak atau pun sekedar teori-teori. Paradigma
yang mengatakan mata pelajaran yang berkaitan dengan ketuhanan hanya ada di
mata pelajaran agama saja harus segera dihapus. Karena tanpa sadar membuat
pendidikan kita mengalami sekuler di
setiap mata pelajaran. Padahal sains bisa menjadi jalan untuk menambah keimanan
peserta didik dengan mensyukuri nikmat di alam ini.
Dari antara orang banyak (golongan), ada yang
pengertiannya tentang “pendidikan” itu, disamakan dengan “pelajaran”. Artinya,
tujuannya “hanya hendak mengisikan pelajaran atau pengetahuan semata-mata[6]. Pergeseran makna
tugas guru pun hanya sekedar menuang air dalam gelas kosong. Sudah saatnya paradigma sains hanya sekedar
penurunan rumus dan pengerjaan soal diubah menjadi pembelajaran sains yang
mendidik karakter dan kreativitas.
Tanpa sebuah kepalsuan, Guru artinya ibadah[7].
Baik buruknya ibadah tersebut adalah tanggung jawab dari guru tersebut kepada
sang pencipta. Tanggung jawab yang dimaksud adalah pembentukan karakter peserta
didik. Lewat pembelajaran sains, guru sains bisa bisa mengajak peserta didik ke
luar sekolah untuk berkeliling tidak perlu jauh-jauh. cukup di lingkungan
sekolah seperti yang guru De Jong lakukan. Dari situ guru bisa menyelipkan
nilai-nilai kegunaan sains dan permasalahan lingkungan dalam kehidupan
masyarakat. Cara ini akan melibatkan emosi peserta didik saat mengamati
kehidupan masyarakat. Akhirnya terbentuklah karakter dalam diri peserta didik
lewat ibadah guru tersebut.
Pengamatan peserta didik terhadap
fenomena-fenomena di alam akan menimbulkan banyak pertanyaan di hati peserta
didik. inilah saat yang tepat bagi guru untuk mengajak peserta didik untuk
berdiskusi. Aktivitas berpikir peserta didik ini akan membuat peserta didik
lebih kreatif karena mereka akan belajar mengaitkan imu yang mereka miliki dan
kehidupan nyata. Selain itu guru juga bisa mengajak ke laboraturium untuk
bereksperimen bersama peserta didik. lalu biarkan peserta didik menarik
kesimpulan versi mereka. Guru harus memperhatikan apa yang disampaikan peserta
didik tanpa memotong pembicaraan mereka karena salah pemahaman. Tugas guru
selanjutnya adalah mengklarifikasi mana yang salah dari pemahaman peserta didik
dan mengupas permasalahan kompleks tersebut hingga jelas. Guru juga menjadi fasiltator peserta didik
untuk mengakses informasi yang berkaitan dengan masalah yang dibahas baik lewat
buku maupun internet.
Epilog
Gagasan ini hanyalah berupa utopia. Selama pendidikan di sekolah terjebak
di dalam sistem sekolah. Akibatnya timbulah paradigma yang menyamakan
pendidikan itu sama dengan pelajaran dan hal yang bersifat mendidik dijadikan
mata pelajaran (misalnya mata pelajaran pendidikan antikorupsi dan pancasila).
Jika tugas mendidik adalah tugas guru, maka setiap guru mata pelajaran punya
kewajiban mendidik. Tidak cukup sebatas kewajiban, tetapi guru harus berani
membongkar kebiasaan-kebiasaan lama yang kurang mendidik. Untuk mengetahui mana
yang mendidik atau tidak, guru juga harus belajar banyak -tidak sekedar
mempelajari buku paket untuk mengajar- baik lewat buku ataupun informasi
mengenai pendidikan di negeri yang berhasil. Pada akhirnya sekolah harus
menjadi instansi pendidikan yang mendidik dengan menggunakan ilmu pendidikan
seutuhnya.
Comments
Post a Comment