ditulis oleh : Tri Sintya
Kepulauan
nusantara yang terbentang dalam keberagaman wilayah geografis menjadikan
Indonesia kaya akan berbagai hal, baik sumber daya alam, bahasa, ataupun
budaya. Namun disisi lain, kelebihan tersebut mampu menjadi permasalahan pelik
apabila tidak dapat disikapi atau dikelola dengan bijak oleh berbagai pihak
negeri ini.
Pemusatan metropolitas suatu daerah
dan adanya ketertinggalan di daerah lain, dapat dijadikan sebuah contoh
permasalahan. Ketidakmerataan itu memberikan banyak perbedaan kondisi pada
masing-masing daerah, sehingga ketersediaan sarana prasarana kehidupan
masyarakat di daerah tertinggal belum terpenuhi secara optimal. Sayangnya, keterbatasan
sarana prasarana tersebut termasuk pula dalam bidang pendidikan yang menjadi
cikal bakal kemajuan bangsa. Pada realitasnya pendidikan Indonesia memang belum
merata. Kondisi geografis pun menjadi salah satu faktor penyebab yang
menjadikan sebagian daerah di Indonesia tertinggal oleh laju pembangunan dan
belum tersentuh pendidikan secara layak.
Sebuah film yang berjudul “Laskar
Pelangi” adaptasi dari novel karya Andrea Hirata menjadi sebuah contoh realita
pendidikan di pelosok Indonesia. Pada
film ini diceritakan sebuah perkampungan di Bangka Belitung yang masih
terpelosok dan terbatasnya sarana prasarana pendidikan khususnya bagi kaum
marginal di daerah tersebut. Contoh dalam film ini menjadi sebuah tolak ukur
dan sample dari sebagian kondisi lain yang sama naasnya. Selain itu banyak pula
contoh sejenis yang juga sudah terekspos media. Permasalahan pendidikan pada
kasus yang sudah terekspos itu rata-rata mengalami keterbatasan dalam sarana
prasana atau akses yang menjadi dasar penting munculnya suatu sistem
pendidikan.
Permasalahan sektor pendidikan
terutama yang terjadi pada masyarakat kelas bawah dipelosok negeri tidak patut
untuk diabaikan begitu saja, karena keberlanjutan masa depan bangsa ini juga
terletak pada tangan-tangan mereka yang berada di daerah-daerah terpencil.
Dengan demikian kondisi keterbelakangan di daerah yang jauh dari perkotaan atau
pusat pembangunan, harus diupayakan bersama-sama agar terjadi pemerataan akses
penunjang kehidupan masyarakat. Pemerataan tersebut tidak dapat begitu saja
terlaksana tanpa adanya aksi kolaboratif dari komunitas setempat dan pemerintah
daerah. Sejalan dengan harapan tersebut, pada masa sekarang ini pun sudah
banyak program yang mengupayakan peningkatan kehidupan masyarakarat di
daerah-daerah terpencil.
Pihak pemerintah yang memang
bertanggung jawab atas peningkatan kehidupan diseluruh wilayah nusantara
nyatanya telah melakukan upaya-upaya terkait hal tersebut meskipun mungkin
belum dapat dikatakan maksimal. Selain usaha pemerintah, banyak pula pihak yang
turut berkontribusi untuk mengabdi pada masyarakat negeri ini. Pihak yang turut
ikut serta seperti tenaga-tenaga ahli yang menjadi relawan di dearah-daerah
pedalaman, program KKN mahasiswa, dll. Lebih khususnya lagi dalam bidang
pendidikan program yang telah ada salah satu contohnya adalah program Indonesia
Mengajar.
Berbagai
program peningkatan mutu hidup masyarakat lokal memang telah dilakukan, namun
masih butuh perbaikan dan ekspansi daerah sasaran agar tercapainya Indonesia
yang berdaulat. Kedaulatan tersebut bukan hanya terlepas dari belenggu penjajah
namun harus mampu terlepas dari belenggu permasalahan dalam negeri terlebih
dalam sektor pendidikan. Kedaulatan dapat dicapai dengan cara menjembatani
proyek pembangunan dengan sasaran yang memang dinilai tepat. Melalui ketepatan
sasaran pembangunan didaerah-daerah terpencil diharapkan mampu meningkatkan
mutu pendidikan yang menjadi ujung tombak perubahan ke arah yang lebih baik.
Jangan sampai kegagalan pembangunan yang menyebabkan tidak terjamahnya suatu
daerah akan menimbulkan penderitaan rakyat atau bahkan pada daerah-daerah
perbatasan masyarakat lokal beralih ke negara tetangga. Jika kondisi demikian
terus menerus berlangsung maka patut dipertanyakan keutuhan dan kedaulatan
negeri ini.
Program
kesejahteraan daerah terpencil yang bertujuan mencapai kedaulatan khusunya
dalam hal pendidikan harus memperhatikan prinsip-prinsip pengembangan
masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar program tersebut harus berpandangan
bahwa masyarakat daerah pelosok sebagai sasaran bukanlah sekedar objek.
Masyarakat sasaran adalah mereka-mereka yang juga memilki pengetahuan lokal dan
kemampuan yang cukup baik dibanding orang lain mengenai kebutuhannya. Oleh
karena itu program peningkatan pendidikan didaerah terpencil harus secara
kolaboratif melibatkan partisipasi aktif warga. Dengan demikian pengembangan
masyarakat yang berbasis people centre
development dapat terimplementasikan dengan baik. Yaitu program dengan
inisiasi komunitas setempat untuk secara swadaya dan sustainable membangun kehidupan yang lebih layak khususnya juga
untuk peningkatan pendidikan masyarakat.
Program
yang selama ini berjalan membangun pendidikan pelosok negeri mungkin masih
cenderung bersifat top down, dimana
pemerintah dan stakeholder lainnyalah yang memulai program untuk diterapkan
pada masyarakat sasaran. Hal demikian memang diperlukan, namun untuk
keberlanjutan program perlu diupayakan sistem buttom up yang berasal dari inisiasi kebutuhan warga sendiri. Pada awal
mula pembangunan program tidak dipungkiri sistem buttom up tidak serta merta bias terlaksana. Misalnya, program
relawan yang akan memberikan pendidikan di daerah terpencil harus memulai
program tersebut yang menempatkan warga komunitas setempat sebagai objek.
Kemudian untuk seterusnya barulah mempertimbangkan sistem yang lebih
demokratis. Demokratisasi ini dapat dilakukan dengan mendengarkan keluhan warga
tentang sarana kehidupan sekitar, apa keinginan warga terhadap kebutuhannya,
serta memotivasi warga untuk dapat lebih pro aktif secara swadaya menciptakan
pembangunan dengan keterlibatan dari segala pihak untuk memfasilitasi
pelaksanaan program.
Disamping
itu, relawan-relawan pendatang yang memilki misi membawa perubahan pun harus
berpandangan “relativias budaya”. Relativitas budaya merupakan pandangan yang
tidak mengintimidasi suatu budaya masyarakat. Dengan kata lain budaya yang ada
tidak boleh begitu saja disalahkan dan dianggap harus dihilangkan. Penerapan
kasusnya dapat berupa penyesuaian kondisi budaya sekitar dengan program pendidikan
yang akan diterapkan. Misalnya, masyarakat yang cenderung menganggap anak
perempuan harus berkerja membantu orang tuanya di rumah tidak boleh begitu saja
ditentang, namun pelaksanaan program pendidikan harus disesuaikan. Selanjutnya
pembawa program barulah melakukan pendekatan personal untuk mengubah paradigma
masyarakat, sehingga konsep demikian akan menjadi kunci keberhasilan penerimaan
masyarakat terhadap program, khususnya program pendidikan di dearah pelosok
negeri.
Berbagai kegiatan terkait pembangunan
pendidikan pelosok sudah dapat dinilai baik melalui kontribusi segala pihak
dengan semangat pengabdiannya masing-masing. Semangat pembangunan tersebut akan
menjadi titik tolak kemajuan peradaban Indonesia di pelosok nusantara, karena seberapapun
jauhnya daerah terpencil dari pusat pembangunan, namun berasal dari kesatuan daerah
itulah Indonesia akan tetap ada. Untuk itu, pembangunan program pendidikan
sangat diperlukan demi terciptanya tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai
yang tertera pada pebukaan UUD 1945. Namun demikian pembangunan pendidikan di
daerah terpencil tidak boleh mengesampingkan partisipasi warga, karena
pembangunan untuk mengembangkan pendidikan masyarakat dapat tercapai pertisipasi.
“empowerment is road to participation,
because community is not an object”(Tony 2006).
Comments
Post a Comment