Skip to main content

Pendidikan Tekstil di Indonesia

Oleh: Ahmad Satria Budiman

Sejak lahir sampai dengan wafatnya, manusia tidak lepas dari produk tekstil. Manusia butuh popok saat masih bayi dan butuh kain kafan saat meninggal dunia (bagi umat muslim). Selama manusia masih memakai baju, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tidak akan pernah mati. Dalam ilmu ekonomi pun, dikenal tiga kebutuhan primer manusia yang salah satunya berkaitan erat dengan industri TPT. Kebutuhan-kebutuhan primer tersebut adalah kebutuhan pangan, sandang, dan papan, dimana kebutuhan sandang-lah yang terkait erat dengan industri TPT.
Pengertian tekstil dewasa ini telah mengalami perluasan makna. Jika dulu tekstil hanya sebatas kain grey (kain mentah) atau celana jeans (celana denim), kini definisi tekstil sudah sampai pada pembalut wanita, rompi tahan peluru, dashboard mobil, hingga interior pesawat terbang. Tekstil tidak lagi dimaknai sebagai tekstil sandang, tetapi juga sebagai tekstil teknik. Perluasan ini merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan yang memanfaatkan fungsi serat sebagai produk manufaktur bernama komposit. Baik komposit dan produk tekstil berupa pakaian memiliki persamaan, yaitu sama-sama berbahan baku serat.
Sebagai negara tropis dimana flora dapat tumbuh subur, kondisi tanah Indonesia baik untuk budidaya serat alam. Sebagai contoh, serat batang rami, serat abaca, serat daun nanas, dan lain sebagainya, meskipun serat kapas merupakan pengecualian. Hingga saat ini, karakteristik tanah di Indonesia belum cukup baik untuk budidaya kapas. Namun demikian, Indonesia memiliki potensi akan serat alam. Dengan sentuhan teknologi, serat dapat menjadi produk tekstil yang variatif dan bermanfaat. Konsumsi serat alam, terutama untuk produk komposit di tingkat domestik ataupun global, merupakan angin segar bagi industri TPT. Sayangnya, kita seolah luput dari peluang ini. Salah satunya dapat dilihat dari sebaran program studi (prodi) Teknik Tekstil yang ada di Indonesia.
Apabila kita mencari pendidikan tekstil di mesin pencari dunia maya, setidaknya ada dua nama yang cukup dikenal, yakni Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (STTT) di Bandung dan Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta. Secara historis, STTT berdiri tahun 1922 dan kala itu berada di bawah Departemen Perindustrian RI. Kini, lulusan Diploma IV STTT bergelar Sarjana Sains Terapan (S.Si.T.). Adapun UII membuka Teknik Tekstil pada tahun 1975 dan melalui SK Mendikbud Nomor 077/U/1978 memperoleh status “terdaftar”. Saat ini, Teknik Tekstil UII yang lulusannya bergelar Sarjana Teknik (S.T.) tidak lagi berdiri sendiri, tetapi menjadi konsentrasi yang berada di bawah naungan jurusan Teknik Kimia.
Selain kedua perguruan tinggi tersebut, ada pula prodi Kimia Tekstil di Akademi Teknologi Warga (ATW) Surakarta yang lulusannya setaraf Diploma III. Kemudian, prodi Teknologi Kimia Tekstil di Universitas Bandung Raya (UBR) yang lulusannya juga setingkat Diploma III, serta prodi Teknik Tekstil di Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Wastukancana Purwakarta yang lulusannya bergelar Ahli Madya. Beberapa tahun lalu, tercatat di Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang juga memiliki prodi tekstil yang sekarang ini sudah tidak terdengar lagi gaungnya.
Prodi tekstil mungkin tidak “sekelas” prodi ekonomi, perminyakan, ataupun kedokteran. Saking langkanya, jumlah mahasiswa prodi tekstil terbilang tidak banyak. Sebagai contoh, kuantitas beberapa tahun terakhir di almamater penulis, yaitu UII Yogyakarta. Secara berturut-turut, angkatan 2008/2009 berjumlah 1 orang mahasiswa, lalu angkatan 2009/2010 ada 8 orang mahasiswa, dan angkatan 2010/2011 terdapat 11 orang mahasiswa yang itupun 4 orang di antaranya merupakan peserta Beasiswa Unggulan (BU) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti). Pada angkatan 2012/2013, mahasiswa tekstil UII berjumlah 17 orang dimana 10 orang di antaranya adalah peserta BU Dirjen Dikti.
Staf Ahli Kementerian Perindustrian, Sakri Widhianto, memperkirakan bahwa industri TPT membutuhkan sekitar 100.000 tenaga kerja setiap tahun, dimana 1.000 orang di antaranya adalah tenaga kerja berkeahlian. Secara implisit, tenaga kerja berkeahlian adalah lulusan perguruan tinggi dari prodi tekstil. Tenaga kerja yang dimaksud dibutuhkan untuk mengisi posisi pengelolaan mesin, pengawasan kerja (supervisor/manager), sampai pada laboratorium quality control dan research and development. (dikutip dari http://en.bisnis.com, 24 April 2012)
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), kebutuhan tenaga kerja ahli di bidang tekstil setiap tahun sekitar 500 orang. Sementara itu, jumlah lulusan tekstil yang dihasilkan oleh sejumlah institusi pendidikan tinggi tekstil belum dapat memenuhinya. STTT di Bandung meluluskan 200-300 orang saja per tahunnya, sedangkan institusi lainnya belum mampu menutup sisa kekurangan yang ada. (dikutip dari http:// kemenperin.go.id, 28 Mei 2012) Untuk memenuhi kekurangan tersebut, industri TPT pada akhirnya diisi oleh tenaga kerja asing, seperti dari China dan India. Sementara itu, sumber daya manusia (SDM) Indonesia hanya menjadi penonton. Ironisnya, ketika posisi penting di industri TPT nasional banyak diduduki oleh SDM asing, SDM pribumi hanya bisa menjadi “penonton”.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu program pemerintah untuk membangun industri TPT nasional adalah melalui dana restrukturisasi mesin sebesar Rp 1,22 Triliun untuk sekitar 600 perusahaan selama tahun 2010-2014. Namun, tidak ada salahnya memulai dari generasi muda dengan fokus pada pendidikan tekstil. Misalnya, melalui kerja sama antara perusahaan tekstil dan perguruan tinggi tekstil. Dinamika perusahaan tidak sebatas mengejar produktivitas saja, tetapi juga melakukan kaderisasi SDM lokal yang berkeahlian. Permasalahan yang ada di perusahaan dapat dikomunikasikan dengan perguruan tinggi. Permasalahan tersebut dapat dicari solusinya melalui proyek-proyek penelitian berbasis tekstil yang progresif. Bukankah tekstil termasuk industri padat karya yang melibatkan banyak orang, sehingga dapat dibagi mana yang bagian mengejar produktivitas dan mana yang bagian kaderisasi SDM lokal.
Perguruan tinggi juga dapat mengadakan kuliah umum ataupun dialog interaktif antara mahasiswa dan para petinggi perusahaan tekstil secara berkala. Para petinggi yang dimaksud seperti direktur atau manajer. Adanya dialog tentu membentuk interaksi yang positif antara kalangan akademisi dan praktisi, sehingga teori akan sejalan dengan praktik. Hal ini juga mendukung perkembangan ilmu pengetahuan semakin dinamis dimana apa yang dipelajari di kelas akan memiliki hubung kait dengan apa yang ada di pasar. Atau dengan kata lain, produk yang berada di pasar dapat dipegang kendalinya oleh industri TPT nasional tanpa campur tangan SDM asing.
Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, disebutkan bahwa UUD 1945 disusun antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pada akhirnya, masa depan industri TPT nasional ditentukan pula oleh anak-anak mudanya, bukan oleh bapak-bapaknya saja.

Comments

Popular posts from this blog

Prestasiku Untuk Masa Depan (1)

Eco – Green Hero : Permainan Edukatif Bertemakan Lingkungan Untuk Siswa Sd

Oleh : Gema Wahyudi   A.     BACKGROUND Pendidikan Lingkungan adalah salah satu ilmu tentang kenyataan lingkungan hidup dan bagaimana pengelolaannya agar menjaga dan menjamin kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Pendidikan tentang lingkungan hidup sangatlah penting. Dengan diberikannya  pendidikan ini kepada masyarakat, diharapkan akan muncul kesadaran agar lingkungan tumbuh dan berkembang dengan baik serta menjaganya. Pendidikan lingkungan ini harus diberikan kepada semua tingkat dan umur, baik melalui jalur sekolah maupun di luar sekolah. Semua jenjang pendidikan hingga masyarakat umum harus mendapatkan pendidikan tentang lingkungan hidup, tentunya dengan penyampaian yang berbeda. Pendidikan ini merupakan salah satu factor penting untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan, meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat dalam mencari pemecahan dan pencegahan timbulnya masalah lingkungan. Anak – anak, khususnya di jenjang SD harus sudah

Upaya Peningkatan Kualitas Pendidikan Di Daerah Terpencil

oleh : Partin Nurdiani Pendidikan merupakan wadah penting yang menjadi titik krusial pembentukan mental, spititual, sekaligus intelektualitas bagi generasi bangsa. Berbicara mengenai pendidikan di Indonesia memang tidak ada habisnya. Mulai dari prestasi-prestasi anak didik kita di tingkat nasional maupun international hingga rendahnya kualitas pendidikan di daerah terpencil. Masih kurangnya sarana dan prasarana dan kualitas pengajarnya yang pas-pasan menjadi salah satu faktor penyebab pendidikan di daerah terpencil terkesan tertinggal. Sehingga kemajuan pendidikan di Indonesia hanya terpusat di daerah perkotaan sedangkan di daerah terpencil kurang diperhatikan. Tak jarang kurangnya perhatian pemerintah itu mengesankan bahwa pemerataan pendidikan di Indonesia belum benar-benar adil seperti apa yang tercantum dalam UUD 1945.