Pengentasan Kemiskinan Melalui Wisata Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan & Pengembangan Kelompok & Kepemudaan : Sebuah Upaya Dualis Penghilangan Kebudayaan Kemiskinan Di Indonesia
Oleh : Bayu Krisnamurti
Kemiskinan merupakan
salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh negara yang mengaku kaya raya ini
: Indonesia. Masalah kemiskinan itu sama tuanya dengan usia kemanusiaan itu
sendiri dan implikasi permasalahannya dapat melibatkan keseluruhan aspek
kehidupan manusia; walaupun sering kali tidak disadari kehadirannya sebagai
masalah oleh manusia yang bersangkutan. Bagi mereka yang tergolong miskin,
kemiskinan adalah sesuatu yang nyata ada dalam kehidupan mereka sehari-hari;
karena mereka itu merasakan dan menjalani sendiri bagaimana hidup dalam
kemiskinan. Walaupun demikian belum tentu mereka itu sadar akan kemiskinan yang
mereka jalani. Kesadaran akan kemiskinan yang mereka punyai itu, baru terasa
pada waktu mereka membandingkan kehidupan yang mereka jalani dengan kehidupan
orang lain yang tergolong mempunyai tingkat ekonomi dan penghidupan yang lebih
baik.
Kemiskinan juga
sesuatu yang nyata ada dalam masyarakat bagi mereka yang tergolong tidak
miskin, yaitu dari hasil pengamatan yang telah mereka lakukan baik secara sadar
maupun tidak sadar, mengenai berbagai gejala sosial yang terwujud dalam
masyarakatnya. Kesadaran akan adanya kemiskinan sebenarnya bukan hanya berasal
dari hasil pengamatan dan pengalaman mereka saja tetapi juga diperoleh melalui
berita-berita yang dibawa oleh teman atau orang yang dikenalnya dan juga dari
berbagai cerita yang ada dalam pesan-pesan yang diterimanya melalui berbagai
media komunikasi, dan juga ajaran-ajaran yang ada dalam agama yang dianutnya.
Meskipun
berbagai masalah mengenai kemiskinan dan kaum miskin telah banyak ditulis,
tetapi konsep kebudayaan kemiskinan itu sendiri relatif masih baru. Konsep
tersebut digunakan untuk pertama kali pada
tahun 1959 dalam buku Five Families:
Mexican Case Studies in the Culture of Poverty. Lebih tepatnya konsep
tersebut didifenisikan sebagai kerangka yang konseptual, dengan penekanan
khusus kepada perbedaan antara kemiskinan dan kebudayaan miskin.
Kebudayaan
kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks sejarah. Namun lebih cenderung
untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat-masyarakat yang mempunyai
seperangkat kondisi-kondisi seperti berikut : (1) sistem ekonomi uang, buruh
upahan rendah dan sistem produksi untuk keuntungan, (2) tetap tingginya tingkat
pengangguran, (3) Rendahnya Upah Buruh dan (4) tak berhasilnya golongan
berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi sosial, ekonomi dan politiknya
secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah.[1]
Ciri-ciri tersebutlah yang dapat kita jumpai di daerah-daerah di indonesia saat
ini, dimana kebudayaan kemiskinan tersebut mencerminkan suatu perwujudan dari
kesadaran bahwa mustahil dapat meraih sukses di dalam kehidupan sesuai dengan
nilai-nilai dan tujuan masyarakat yang lebih luas. Sering kali kebudayaan
kemiskinan berkembang bila sistem-sistem ekonomi dan sosial yang berlapis-lapis
rusak atau berganti seperti di masa peralihan dari feodalisme ke kapitalisme
atau sewaktu pesatnya perubahan teknologi. Sering kebudayaan tersebut berasal
dari akibat penjajahan dimana struktur ekonomi pribumi tetap dipertahankan
rendah akibat makin banyaknya terbentuk strata-strata sosial di dalam
masyarakat indonesia.
Semua implikasi
masalah tersebut adalah masalah klasik bagi bangsa indonesia, dimana terdapat
tiga kata kunci yang menyebabkan terjadinya tingkat pertumbuhan ekonomi yang
tidak merata di Indonesia : Kesenjangan Strata,Kebudayaan Kemiskinan dan
Kemiskinan. Jika mau ditilik asal muasal tiga kunci diatas adalah berasal dari
ketidapuasan suatu sistem perekonomian yang digalang oleh pemerintah, hal itu dikarenakan
pemerintah mempunyai konsep perekonomian yang matang dan jelas yang tidak
tersampaikan secara riil dan komunikatif, komunikatif artian disini adalah
pemerintah tidak memiliki program yang benar-benar
dibutuhkan rakyat secara matang dan lebih menekankan perbaikan angka kemiskinan
secara makro tanpa memperhitungkan keefektifan perbaikan angka kemiskinan
secara riil dan mendalam.
Fakta yang
paling masuk akal mengenai daerah-daerah kediaman golongan berpenghasilan
rendah di Indonesia ialah, bahwa mereka umumnya menunjukan jiwa bersatu,
kepercayaan pada diri sendiri dan kestabilan yang kuat.[2]
Orang-orang yang rela bekerja sama untuk menanggulangi kesulitan bersama, dan
dalam banyak kasus yang menyebabkan eksistensi kelompok masyarakat mereka
terancam oleh sikap pemerintah pusat yang membuat kebijakan-kebijakan tidak
populer mendukung adanya perubahan organizing
behavior community yaitu dimana tingkat dan sikap perubahan suatu golongan
masyarakat atas suatu instruksi sistem pusat yang salah. Fakta lain bagi
daerah-daerah miskin di indonesia ialah adanya banyak kesempatan bagi
orang-orangnya untuk mencari penghasilan tambahan dengan kerja sambilan dan
warung-warung kecil. Jelas hal yang mereka lakukan tidak salah namun cenderung
dibenci oleh pemerintah pusat karena merusak estetika dan lebih berpihak pada
kepentingan ritel-ritel besar yang menguntungkan perekonomian negara secara
makro tapi membunuh perekonomian mikro. Bagi hampir setiap di daerah-daerah
miskin di indonesia kehidupan sehari-hari adalah sangat berat, terutama bagi
anak-anak. Karena orang tua sering pergi bekerja, anak-anak banyak membuang
waktu mereka dengan kegiatan-kegiatan yang sebagian besar tidak berguna dan hambar yang cenderung mendekati pada
kegiatan kriminalitas dan bertentangan dengan undang-undang.
Upaya
penanggulangan kemiskinan yang paling strategis saat ini dalam era otonomi
daerah dapat dirumuskan dalam satu kalimat yaitu “berikan peluang kepada
keluarga miskin dan komunitasnya untuk mengatasi masalah mereka secara
mandiri”.[3] Ini
berarti pihak luar harus mereposisi peran mereka, dari agen pemberdayaan
menjadi fasilitator pemberdayaan. Input yang berasal dari luar yang masuk dalam
proses pemberdayaan harus mengacu sepenuhnya pada kebutuhan dan desain aksi
yang dibuat oleh keluarga miskin itu sendiri bersama komunitasnya melalui
proses dialog yang produktif agar sesuai dengan konteks setempat. Upaya-upaya
menyeragamkan penanggulangan kemiskinan menurut model tertentu hanya akan
menemukan kemungkinan yang lebih besar untuk gagal dalam mencapai sasarannya.[4]
Hal-hal yang perlu ditinggalkan oleh para pembuat kebijakan adalah melakukan
kontrol yang mematikan insiatif maupun partisipasi penduduk miskin. Yang perlu
segera dilaksanakan adalah membangun suatu paradigma pembangunan yang memihak
kepada penduduk miskin. Dalam membangun paradigma golongan miskin perlu
diikutsertakan, misalnya melalui perwakilan mereka. Pemerintah daerah dan
pemerintah desa sebaiknya hanya melakukan pekerjaan yang benar-benar mampu
mereka kelola. Untuk mencapai kemampuan manajemen tersebut, Pemerintah Daerah
dan Pemerintah Desa perlu bekerjasama dengan pihak-pihak lain yang berminat
dalam program penanggulangan kemiskinan. Dalam proses ke arah itu dibutuhkan
pendampingan yang akan membantu mendorong tumbuhnya partisipasi penduduk miskin
dalam proses pembangunan di lingkungannya. Juga perlu menguatkan kemampuan
kelembagaan penduduk miskin dengan pelatihan dalam satuan kelompok-kelompok
penduduk miskin bentukan mereka. Di dalam kelompok, mereka menjadi sadar akan
posisi dan apa penyebab kemiskinan mereka, dan membuka peluang menggalang
pemecahan masalah kemiskinan bersama.
Pengembangan dan pemberdayaan
kelompok saat ini di Indonesia memang tidak asing, sebagian besar program community development dikonsentrasikan
ke dalam pemberdayaan masyarakat kilat yang diadakan oleh NGO,kelompok
mahasiswa maupun pemerintah pusat ataupun daerah itu sendiri dengan mengadakan
semacam proyek pemodalan dan pemberdayaan yang berkelanjutan dengan ditambah
lagi tidak ada pengawasan khusus dari pemerintah dalam “kemana arahnya lari
uang yang sudah digelontorkan oleh pemerintah ke pada debitur dalam hal ini
target proyek yang direalisasikan oleh pemerintah”, Hal ini juga masih
mengundang tanda tanya yang besar dari para pengamat ekonomi dan kenegaraan.
Wisata Kemiskinan adalah salah satu gagasan yang
prospektus apabila dilihat berdasarkan persepektif ideologi kemiskinan, yaitu
suatu konsep bisnis sosial dimana dapat membuat keuntungan secara komunitas sekaligus
mencerdaskan pelaku yang melakukan bisnis tersebut.[5]
Artian bisnis disini lebih kearah penggunaan kemiskinan tersebut sebagai objek
utama dalam mengembangkan suatu daerah menjadi suatu daerah wisata berbasis kemiskinan
tersebut sehingga daerah tersebut memiliki local
wisdom yang terbangun secara positif. Dalam contoh kasus ini adalah
organisasi Jakarta Hidden Tour yang
digarap oleh lulusan Institut Kesenian Jakarta, Sang konseptor tersebut tidak
setuju dengan keindahan yang selalu lekat dengan seniman, Justru dia selalu
menekankan agar memperlihatkan kota jakarta dalam perspektif yang sebenarnya yang
memang tidak explore oleh media
elektronik maupun televisi, Jakarta
Hidden Tour sampai saat ini sudah berjalan lebih
dari satu tahun dimana peminatnya dari berbagai negara, paling banyak Eropa,
disusul Jepang dan Australia. Biayanya tak murah juga untuk ukuran orang
Indonesia yakni Rp 1.5 juta per kepala, dan telah dikelola secara professional.
Namun yang pasti, rombongan turis begitu menikmati kunjungan mereka, bahkan
terjadi dialog interaktif.
Menurut beberapa
turis, selain menikmati “pemandangan” khas situasi kaum urban Jakarta ini.
Mereka yang rata-rata berkocek tebal juga bisa melakukan amal, donasi bahkan
filantropi. Jadi jangan salah jika Pemprov DKI “pasti” akan kecolongan dalam
hal bantuan yang tidak melalui mereka, tetapi langsung ke warga pemukiman,
dengan pembagian yang teratur dan tertata rapi. Ini sebuah tamparan yang sangat
memerahkan tapi tidak melukai bagi pemerintah pusat maupun Pemprov DKI. “Anda
masih ingat ?”, Ketika pada tahun 1980-an, ketua IGGI (sebuah badan dan
kelompok negara yang memberikan bantuan buat Indonesia), Saat itu Mr.JP Pronk
asal Belanda, mensinyalir bantuan yang tak pernah tersalur ke rakyat miskin di
Indonesia. Pronk, langsung “turun ke bawah”, ke beberapa kota dengan sampel
wilayah dan rakyat secara acak, salah satunya dia mendatangi tukang becak,
pedagang keliling dan anak-anak yang sakit di pemukiman kumuh Jakarta. Setelah
pemeriksaan mandiri yang dilakukan oleh ketua IGGI tersebut ternyata mendapati penduduk
tersebut tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Tentu ini merupakan
fenomena menarik yang dapat ditarik hubungannya dengan latar belakang mendukung
tren wisata kemiskinan agar dilakukan secara swadaya maupun terorganisir oleh
pemerintah sehingga komunitas-komunitas kecil tersebut dapat melakukan sebuah
perombakan kehidupan ekonomi secara mandiri dan madani. Hal ini tentu dapat
dilakukan dengan melakukan sosialisasi program wisata kemiskinan dengan target
sasaran pemuda pengangguran dan komunitas-komunitas yang berpotensial melakukan
tindakan kriminal akibat tekanan ekonomi yang tinggi di daerah tersebut agar
melakukan sesuatu yang positif dalam
lingkungan tersebut, walaupun terkesan agak sulit direalisasikan Jakarta Hidden Tour telah membuktikan
bahwa mereka telah membentuk suatu tren wisata baru dimana mereka memberdayakan
warga miskin untuk mendapat kerja di tanah yang mereka diami sendiri dan dengan
sendirinya mendegradasi pemahaman kebudayaan kemiskinan yang mereka anut
sebagai subsistem budaya minta-minta
yang lekat dengan sebuah pekerjaan mereka sehari-hari. Wisata ini juga
menggambarkan sebuah sisi dualis positif dimana mereka tidak hanya menghasilkan
uang ataupun membuat lapangan pekerjaan tapi wisata ini berpotensial memberikan
perjalanan yang sangat berharga tentang realita kehidupan. Ada rasa kemanusian
dan kasih sayang yang tumbuh, saat Anda bertemu dengan orang-orang yang kurang
mampu. Hal ini tak dapat dirasakan dengan uang tetapi dengan hati dan perasaan.
Kita tidak perlu
menghadiri sebuah perkuliahan sosial untuk mengerti basis konsep tentang
kemiskinan maupun kehidupan, karena ada banyak hal yang bisa kita lakukan dalam
mendidik sebuah komunitas tanpa menggurui yaitu dengan melakukan pemberdayaan
sosial sebagai muatan inti yang dimengerti langsung tentang permasalahan yang
mereka hadapi, yaitu degradasi moral yang berbanding lurus dengan kepahitan
hidup yang mereka jalani dari sisi ekonomi yang secara jelas berpengaruh besar
dengan semakin luasnya pengaruh kebudayaan kemiskinan di negeri ini sehingga berpotensial
merusak falsafah ketimuran yang berlaku di negeri ini sejak lama yang menjamin
bahwa rakyat indonesia akan hidup makmur dan sejahtera apabila mengikuti
falsafah/pakem tersebut dengan tidak
disikapi secara pragmatis dan arogan.
[1] Diterjemahkan dari American
Anthrophologist, Vol.72, No. 3,1970, hlm. 516-527
[2] Herber J. Gans, Culture and
Class in the study of Poverty An Approach to Anti-Poverty Research, dalam On
Understanding Poverty, Daniel P. Moynihan, ed., bab 8, (New York: Basic
Books,1969)
[3] Oscar Lewis, The Culture of
Poverty, dalam Man in Adaptation,1968,
hlm. 413; editor: Yehudi Cohen
[4] Diterjemahkan dari karangan
Charles Adams, Population Inflation and
Urban Invasion, Housing in The Modern World (London: Faber and Faber,
1964), Chapter 1, hlm. 1-11
[5] Diterjemahkan dari The
Possession of the Poor, Karangan Oscar Lewis dalam Scientific American (Oktober 1969), hlm.114-124
Comments
Post a Comment