Skip to main content

Sekolah Berbasis Kearifan Lokal: Peretas Pendidikan Yang Membebaskan

Karya: Mu’awanah

Arena pendidikan menjadi tempat berkumpulnya orang-orang dengan derajat tinggi. Dalam kondisi keterpurukan bangsa dan negara, pendidikan diharapkan menjadi andalan untuk bangkit melalui perubahan. Sayangnya, lembaga pendidikan masih menjadi bagian dari masalah nasional; Kurikulum yang tidak pernah konsisten, menyebabkan  tidak melihat latar belakang individual pendidik dan yang terdidik (murid). Masalah nasional tersebut juga disusul dengan  kurikulum yang masih terpusat, kastanisasi pendidikan sebagai akibat pendidikan mahal, serta sertifikasi yang membuat para pendidik (guru) gelap mata, bahkan membudayanya transaksi pendidikan.[1]
Jati diri sebagai bangsa yang berbudi luhur  telah luntur, sejarah masa lalu perjuangan untuk mendapatkan pendidikan yang layak dilupakan.  Pendidikan masa kini  berkiblat pada tata kehidupan kontinental. Kepercayaan dirinya-pendidikan bangsa ini- tererosi dan mengalami evolusi ke arah hilangnya nilai kemanusiaan. Dalam begitu berakibat terhadap kurang peduli pada masa depan generasi penerusnya. Pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi pun ikut andil di dalamnya, yakni  menghasilkan kebijakan pembangunan pendidikan yang mengingkari kodrat fisik dan jati diri bangsa.   Sistem pendidikan yang berorientasi pada hafalan, kurikulum terpusat yang wajib diikuti. Hal itu telah mengurung bangsa ini di dalam kehidupan konsumtif dan pola hidup yang pragmatis sebagai ukuran prestasi dalam kehidupannya.

STOP DERITA MURID

Pendidikan nasional kita sangat dipengaruhi oleh kebijakan birokrasi dan tidak mau peduli pada pendidikan dan gagasan orang swasta. Bangsa ini seolah kembali pada masa lalunya,  saat sikap dan tindakan kolonial Belanda pada tahun 1935, mengeluarkan ordinasi sekolah liar (Wilde Shoollen Ordonantie). Bahwa swasta harus meminta izin pemerintah untuk membuka sekolah, subsidi diberikan pada sekolah yang menyerupai sekolah negeri. Kurikulum sekolah swasta harus sama dengan kurikulum nasional.[2]
Sebenarnya, tujuan pendidikan kolonial Belanda tersebut adalah menyediakan tenaga terdidik untuk kepentingan pelayanan pemerintah dan tenaga trampil untuk kaum modal Belanda.  Tuntutan semacam itu selalu kita dengar dalam menilai hasil pendidikan yang tidak memperoleh kesempatan kerja. Mereka didakwa tidak memperoleh ketrampilan. Pada saat ini, jika kita sadar model pendidikan serupa zaman Belanda tersebut,  kita sama saja menyaksikan pendidikan Kolonial tengah terulang. Teradopsi secara sadar.
Pola pendidikan yang diterapakan dalam pemerintahan kita, pada akhirnya menjadikan  kekayaan alam tidak diolah dengan baik karena SDM berorientasi hanya pada kerja instan atau industry pabrik saja. Berlimpahnya penduduk tidak menjadi kekuatan yang mengubah, malah menciptakan pengangguran dan masalah TKI. Bahkan pendidikan yang disiarkan dalam sekolah-sekolah kita tidak membuat kearifan berbudi, justru dimana-mana  dilanda konflik dan kerusakan.
Pendidikan kita selama ini, tampak hanya upaya untuk melaksanakan keyakinan-keyakinan orang tua, buktinya model pendidikan yang seperti itu membunuh daya pikir dan kreatifitas. Pendidikan telah menjadi upaya industri  seperti mesin, dengan memperlakukan anak-anak sebagai bahan baku yang dicetak menjadi SDM yang siap bekerja di pabrik. Pendidikan telah dibatasi untuk menghafal buku cetakan dan melupakan kenyataan yang terbilang di alam luas. Bahkan pendidikan modern mendorong manusia menjadi individualis, melupakan kenyataan sebagai mahluk sosial, dilatih menyisihkan dan mengalahkan yang lain.  Dan tes serta ujian membagi murid menjadi si pintar dan si bodoh. Bukankah jika begitu, pendidikan atau sekolah ada hanya untuk membunuh dan menindas potensi kemanusiaan. Bahkan Indonesia telah beriman kepada tatanan pendidikan Belanda masa lalu.




STOP KASTANISASI PENDIDIKAN
           
            Selain  menciptakan derita murid,  terbitnya kastanisasi pendidikan telah menambah deretan masalah nasional yang diakibatkan oleh pendidikan. Seperti isu yang merebak selama ini secara terus menerus adalah pendidikan tidak terjangkau oleh orang miskin. Bahkan telah muncul slogan bahwa “si miskin dilarang sekolah atau kuliah. Sekolah atau kuliah hanya untuk orang kaya”.  
Stigma ini sudah sangat melekat di masyarakat. Pendidikan yang mahal ini pula yang kemudian menjadikan adanya kesan kastanisasi pendidikan. Terlebih, daya kemampuan masyarakat memang masih rendah, apalagi pertumbuhan ekonomi di tingkat akar rumput. Pertumbuhan ekonomi pun secara mikro belum beranjak secara signifikan. Sehingga, lemahnya kemampuan ekonomi masyarakat tersebut, memaksa mereka membuat keputusan yang dilematis antara menempuh pendidikan dan  belanja memenuhi kebutuhan untuk bertahan hidup. Hampir 99%, pilihan jatuh pada belanja bertahan hidup karena tidak dapat di tunda, sedangkan pendidikan masih dapat ditunda sampai mereka mempunyai dana yang cukup.[3]
Di sisi lain, bagi mereka yang mampu, pendidikan bukanlah masalah, bahkan menjadi salah satu agenda belanja yang sangat menarik. Mereka dapat memilih sekolah atau perguruan tinggi yang sesuai minatnya. Namun, mereka justru tidak memperoleh manfaat maksimal dari pendidikan yang ditempuh. Jalan mudah untuk mendapatkan pendidikan tersebut, membuat mereka lupa akan tujuan pendidikan, mereka lebih menyukai hidup yang hura-hura, sekolah tidak serius bahkan tidak jarang yang berani membeli ijazah. Sekolah hanya dijadikan sebagai formalitas atau gaya hidup.
Jika begitu, terlihatlah jelas disparitas akses pendidikan yang semakin lebar antara kedua kelompok tersebut. Gejala ini akan terus memburuk karena pertumbuhan ekonomi kita cenderung berpihak kepada yang mampu. Kesenjangan pendidikan tersebut melebarkan sayapnya terhadap kesenjangan sosial dan bila terlalu lebar, kesenjangan tersebut dapat menimbulkan revolusi sosial.
Kita tentu saja tidak menginginkan revolusi sosial tersebut di negara tercinta ini, apalagi, jika kita sadari bahwa bangsa kita tercinta ini adalah bangsa yang berbudi luhur dan mengenal keberagaman, yang dilandasi semangat Bhineka Tunggal Ika. Sebenarnya, masalah disparitas pendidikan tersebut, hanyalah bisa diselesaikan dengan pendidikan pula.  Oleh karena itu, pendidikan kita harus di reformasi; menghapus kastanisasi pendidikan, mengadakan agenda murah pendidikan, serta menerapkan pembebasan (kurikulum yang melihat kearifan lokal). Agar setiap masyarakat mempunyai kesempatan yang sepadan untuk belanja pendidikan, mempunyai akses yang sama untuk berkarya serta  tersedia SDM yang mampu mengolah SDA dan tidak terpaku terhadap kerja industri.
Pada akhirnya, tidak menciptakan ironisistas bahwa pendidikan selama ini menciptakan kesenjangan, karena pendidikan adalah peredamnya atau peminimalisirnya.


SEKOLAH BERBASIS KEARIFAN LOKAL
SEBAGAI PENDIDIKAN ALTERNATIF

            Dua masalah di atas tersebut, jika meminjam istilah Paulo Freire adalah pendidikan tertindas. Dimana akar masalah tersebut menyerupai pada zamannya. Yaitu, pendidikan yang tidak berpihak terhadap masyarakat miskin tetapi justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan untuk kaum pelajar.  Mereka dibentuk sedemikian rupa, seperti robot, seperti mesin yang siap diterjunkan dalam kawasan pabrik, industri yang jelas-jelas menguntungkan kaum penguasa.
            Seperti Freire mengatakan, bahwa sistem pendidikan seperti itu harus dibebaskan. Begitu pula serupa dengan dua akar permasalahan pendidikan di Indonesia yang harus di reformasi.[4] Dalam hal ini, penulis menyajikan Sekolah Berbasis Kearifan Lokal sebagai Pendidikan Alternatif.
Istilah pendidikan alternatif tersebut merupakan istilah generik yang meliputi sejumlah besar program atau cara pemberdayaan peserta didik yang dilakukan secara berkala, yaitu di antaranya: dengan pendekatan yang bersifat individual, memberikan perhatian yang lebih besar kepada peserta didik, orang tua/keluarga serta menumbuh kembangkan sesuai minat dan pengalaman peserta didik. Dengan pendidikan alternatif tersebut, akan tercipta kesadaran-kesadaran mengenai pentingnya pendidikan untuk menumbuhkembangkan cinta terhadap pendidikan.[5]
Sekolah berbasis kearifan lokal terebut, sebagai pendidikan alternatif menghidupkan kesadaran-kesadaran yang telah lama mati akibat kastanisasi pendidikan, akibat kurikulum terpaku yang menciptakan murid atau peserta didik sebagai robot, model pendidikan yang melihat  peserta didik sebagai wadah untuk menampung sejumlah rumusan atau dalil pengetahuan, bukan dilihat sebagai yang dinamis. Sehingga menjadikan miskinya peserta didik punya  cipta dan daya kreasi. Selain itu, sekolah berbasis kearifan lokal mampu melihat potensi kemanusiaan sebagai daya cipta dan daya kreasi, untuk menemukan potensial alam sebagai kekayaan yang terpendam. Oleh karena itu, peserta didik tidak hanya di perlakukan sebagai robot yang habis-habisan dipola dan diatur untuk menghasilkan sesuai tatanan penguasa. Melainkan mendapat kemakmuran sebagai konsekuensi logis dari pengolahan SDA yang baik, serta menikmati cipta dan kreasinya.
Dengan sekolah berbasis kearifan lokal, peserta didik dirasa akan mampu bersilaturahmi dengan alam di sampingnya, (SDA Potensial sebagai daya dukung amalan pendidikan) seperti contoh kecil mereka yang tinggal di daerah pertanian mampu menggerus sistem pertanian sederhana dan sumber daya petani sederhana,  bagi mereka yang hidup di perkampungan nelayan mampu meningkatkan sistem tradisional penangkapan ikan menjadi system modern yang masih mengenal kearifan laut.
Selain itu, sekolah berbasis kearifan lokal mampu membebaskan dan melepaskan dari kurungan kekuasaan serta melahirkan manusia baru, manusia yang hidup dalam  pembebasan serta dalam alam kesadaran kritis / kritisisme sosial, maupun benda-benda, fakta-fakta yang tampil secarra empirik, dalam kausalitas dan saling berhubungan dengan lingkungan sekitar (potensialisasi sumber daya lokal).
Lebih lanjut, dengan sekolah berbasis kearifan lokal tidak akan ada lagi sekolah yang menjenuhkan, biaya mahal, kastanisasi pendidikan, tidak terawatnya alam dengan baik, serta matinya kemakmuran-kemakmuran lokal akibat ketidak tahuan peserta didik (murid) akan potensi alam, serta akan mencerahkan kebingungan-kebingungan dalam mencari pekerjaan akibat sempitnya lahan kerja. Mereka akan mampu menciptakan lahan kerja dengan bekal pendidikan yang telah diserapnya di dalam sekolah mereka.



[1] Kompas,  Transaksi Pendidikan, Edisi Senin Januari 2011.
[2] Mintz, Jery, The Handbook of Alternative Education, (New York: Macmillan Publishing Company, 1994), hlm. 35.
[3] Teguh Wiyono, Rekonstruksi Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 45.
[4] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas,  (Jakarta: LP3S, 1972), hlm. 12.
[5]John Dewey, Experience And Education, Pendidikan Berbasis Pengalaman, (Jakarta Selatan: Teraju Mizan, 2004), hlm. 76. 

Comments

Popular posts from this blog

Prestasiku Untuk Masa Depan (1)

Eco – Green Hero : Permainan Edukatif Bertemakan Lingkungan Untuk Siswa Sd

Oleh : Gema Wahyudi   A.     BACKGROUND Pendidikan Lingkungan adalah salah satu ilmu tentang kenyataan lingkungan hidup dan bagaimana pengelolaannya agar menjaga dan menjamin kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Pendidikan tentang lingkungan hidup sangatlah penting. Dengan diberikannya  pendidikan ini kepada masyarakat, diharapkan akan muncul kesadaran agar lingkungan tumbuh dan berkembang dengan baik serta menjaganya. Pendidikan lingkungan ini harus diberikan kepada semua tingkat dan umur, baik melalui jalur sekolah maupun di luar sekolah. Semua jenjang pendidikan hingga masyarakat umum harus mendapatkan pendidikan tentang lingkungan hidup, tentunya dengan penyampaian yang berbeda. Pendidikan ini merupakan salah satu factor penting untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan, meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat dalam mencari pemecahan dan pencegahan timbulnya masalah lingkungan. Anak – anak, khususnya di jenjang SD harus sudah

Upaya Peningkatan Kualitas Pendidikan Di Daerah Terpencil

oleh : Partin Nurdiani Pendidikan merupakan wadah penting yang menjadi titik krusial pembentukan mental, spititual, sekaligus intelektualitas bagi generasi bangsa. Berbicara mengenai pendidikan di Indonesia memang tidak ada habisnya. Mulai dari prestasi-prestasi anak didik kita di tingkat nasional maupun international hingga rendahnya kualitas pendidikan di daerah terpencil. Masih kurangnya sarana dan prasarana dan kualitas pengajarnya yang pas-pasan menjadi salah satu faktor penyebab pendidikan di daerah terpencil terkesan tertinggal. Sehingga kemajuan pendidikan di Indonesia hanya terpusat di daerah perkotaan sedangkan di daerah terpencil kurang diperhatikan. Tak jarang kurangnya perhatian pemerintah itu mengesankan bahwa pemerataan pendidikan di Indonesia belum benar-benar adil seperti apa yang tercantum dalam UUD 1945.