SUDAH lebih dari setengah abad kita mengelola sekolah agar semakin hari hasilnya semakin bermutu. Kita bertolak dari asumsi bahwa untuk melahirkan hasil yang bermutu, kita pun harus mempunyai angkatan guru yang bermutu pula. Karena itu, tidak semua orang diberikan kewenangan mengajar. Mereka harus terlebih dahulu memasuki sebuah lembaga vokasional atau profesional, yang secara sederhana berarti lembaga yang khusus menyiapkan tenaga terdidik untuk menjadi guru.
Untuk memastikan guru-guru kita tetap up to date, kita menatar, menatar, dan menatar terus mereka agar mereka lebih kompeten. Untuk memastikan serta membantu agar guru-guru dapat bertugas dengan baik, kita siapkan “pedoman kurikuler” yang rinci mengenai segala hal yang perlu diterapkan di dalam proses pelaksanaan tugasnya. Dan, untuk memastikan bahwa hasil kerja mereka betul-betul bermutu, maka kita evaluasi pencapaian pelajaran murid mereka, dalam bentuk Ebtanas. Kurang apa lagi usaha kita?
Memang masih kurang, karena kita bertolak dari asumsi yang salah. Hari ini kita menyadari bahwa kita tidak maju-maju, bahkan mengalami setback. Bukan satu, tetapi beberapa langkah mundur. Hari ini kita dihadang sejumlah bukti bahwa pendidikan kita umumnya, hasil pelajaran di sekolah khususnya, semakin merosot mutunya. Bahkan pendidikan kita berada di dalam alur yang “buntu”, dan kebuntuan ini adalah musuh dari kemajuan; tidak ada pendidikan yang buntu yang dapat menghasilkan kemajuan.
GURU memang mudah dijadikan kambing hitam. Ini bukan tanpa alasan. Guru adalah mereka yang memang dipersiapkan berada di garis paling depan, yang setiap saat bertugas berinteraksi dengan murid. Tugas keguruan melambangkan pertemuan antara dua generasi: generasi tua dengan generasi muda, lambang kesinambungan masa lalu dengan masa depan. Gurulah yang diberi kepercayaan untuk menerapkan program kurikuler.
Guru memang dapat direduksi tugasnya sebagai operator semata, tetapi dengan begitu ia ingkar pada tugasnya yang lebih penting sebagai pendidik. By design, guru bukan operator tetapi pendidik! Namun, dalam kenyataannya tugas guru yang telah direduksi sebagai “pemberi mata pelajaran” pun hasilnya sudah tidak memuaskan. Dengan tugas dan kemampuan yang terbatas, guru memang tidak lain kecuali menjadi manusia serba terbatas. Dunianya terbatas pada scope “mata pelajaran”-nya; tujuannya terbatas pada keberhasilan Ebtanas; motivasinya terbatas pada bertahan hidup.
Alangkah malangnya nasib bangsa ini kalau ada guru seperti itu; lebih malang lagi kalau banyak guru demikian. Guru dengan perspektif kependidikan yang terbatas hanya dapat menghasilkan anak didik yang juga berpandangan terbatas. Ia akan mempelajari mata pelajaran tanpa mengetahui makna dan kegunaannya.
Kalau itu sebuah kesalahan (dan jelas itu adalah kesalahan besar), awalnya bukanlah pada guru. Guru adalah bagian dari sebuah mata rantai. Sejak seseorang memasuki profesi keguruan sudah terdapat berbagai kelemahan. Sementara di sisi lain, persepsi masyarakat terhadap peran dan posisi guru-termasuk persepsi orangtua dan anak didik-merosot sampai pada tingkat mencemaskan. Akibat berantainya ialah bahwa calon yang berpotensi menjadi guru yang baik mengurungkan niatnya. Karenanya, semakin banyak guru yang berasal dari mereka yang tidak berpeluang memilih pendidikan yang lain, atau yang datang dari lapisan sosial yang semakin rendah. Ini bukan causa prima; ini adalah akibat!
Akibat ini masih berlanjut. Bahkan ketika sudah di medan tugas, habitat baru yang bernama sekolah hampir semuanya tidak sesuai dengan kondisi ideal seperti yang dikenalnya selama belajar. Inovasi dan kreativitas harus dilupakan. Metode interaksi yang menekankan pada partisipasi aktif murid terdesak oleh rutinitas serta usaha meliput seluruh bahan mengajar yang ditujukan untuk menghadapi ujian akhir.
Akan tetapi itulah aturan permainan di sekolah kalau guru mau menjaga konduite yang “baik”. Guru harus berkiblat pada pedoman kurikuler yang seringkali tidak dipahaminya. Pemahaman guru tentang kurikulum sebagai buku pintar yang harus dijadikan sebagai pedoman di kelas masih sangat rendah.
MENILAI guru sebagai satu mata rantai pendidikan yang lemah memang harus dilakukan secara obyektif. Akan tetapi memusatkan perhatian hanya kepada guru sebagai sebuah dari sejumlah mata rantai adalah kesalahan yang lebih besar, karena jelas faktor guru tidak berdiri sendiri. Keseluruhan mata rantai yang berkaitan dengan isu guru harus ditinjau secara lebih jernih. Akan tetapi, di dalam praktik, ini justru tidak terjadi.
Kesalahan pendekatan masa lalu, sejauh mengenai penilaian mengenai betapa lemahnya posisi guru, dipecahkan melalui peningkatan kemampuan guru. Dan, setiap kali terdapat tanda-tanda kelemahan di dalam proses belajar-mengajar, dapat dipastikan bahwa guru sekali lagi dijadikan sasaran untuk ditingkatkan kemampuannya. Pada dasarnya pendekatan penataran guru sebagai jalan pintas, yang berlangsung tidak berkesudahan dan berbiaya tinggi, tetapi tidak pernah menunjukkan hasil yang signifikan. Begitu bodohkan guru kita, sehingga tidak ada kemajuan walaupun mereka sudah ditatar dan terus ditatar?
Penataran tidak peduli melihat hubungan prestasi kerja guru dengan tingkat kesejahteraan guru yang mengerdilkan profesionalisme. Penataran hanya memberikan peluang guru untuk melupakan sebentar kondisi yang mencekam, melupakan sebentar tugas penyiapan lulus Ebtanas. Penataran memberikan peluang untuk keluar dari rutinitas. Kemudian ternyata sertifikat yang diperoleh sebagai tanda “telah mengikuti penataran dengan memuaskan” itu lebih berguna untuk kenaikan pangkat daripada untuk kenaikan kemampuan profesional. Jadi siapa yang salah? Siapa yang sungguh-sungguh salah? Entah siapa, tetapi bukan guru. Jelas bukan guru! **
ditulis oleh Prof Winarno Surakhmad
Comments
Post a Comment