Membicarakan seorang tokoh sekaliber Moehammad Sjafei, sungguh dirasakan perlu juga kita mengetahui seorang yang paling berjasa terhadap beliau, 3 orang itu adalah Inyik Ibrahim Marah Sutan (Marah Sutan)1 dan isterinya seorang yang buta huruf tetapi jiwa nasionalis dan patriotisnya sangat tinggi dan beliau mendapatkan gelar dari masyarakat adalah ”Laba-laba merentang jaring”, yaitu Andung Chalidjah. Kedua orang inilah yang mengangkat Moehammad Sjafei menjadi anak serta menyekolahkannya, sehingga berhasil memimpin Pendidik Ruang INS Kayutanam, yang sebelumnya sudah dirintis oleh Sutan Marah. (AA. Navis: 1996:4).
Sutan Marah yang menamatkan pendidikan Kweekschool, yang oleh rakyat dinamakan sekolah raja 2 yang didirikan di Bukittinggi. Setelah menamatkan pendidikan tahun 1890, beliau langsung menjadi guru pada sekolah rendah di Padang Sumatera Barat, dan kemudian menikah dengan gadis buta huruf dari Bengkulu yaitu Chalidjah. Dalam perjuangan mengajar, Sutan Marah selalu berpindah-pindah 5 tahun di Padang kemudian pindah ke Sukadana Lampung, 7 tahun kemudian pindah lagi ke Idi Aceh, dan 3 tahun kemudian pindah lagi ke Pontianak, serta masih banyak lagi daerah tempat pengambdian mengajarnya Sutan Marah. Setelah pensiun beliau menetap di Jakarta sampai akhir hayatnya pada tanggal 31 Agustus 1954 dan dikebumikan di pemakaman Tanah Abang Jakarta.
Ketika Sutan Marah bertugas di Pontianak, ia mengangkat anak yang bernama Moehammad Sjafei, seorang anak yatim yang ditinggalkan Ayahnya semasa kecil dan diasuh ibunya bernama Sjafiah, buta huruf yang pekerjaannya membuat kue untuk dijajakan Sjafei. Ibu Sjafei tidak dapat menentukan hari dan tanggal lahir anaknya, namun dapat diperkirakan tanggal 31 Oktober 1893. Dan menurut beberapa literatur Sjafei diangkat ditetapkan pada tanggal lahirnya itu juga.
Kemudian Sjafei disekolahkannya pada sekolah raja Bukittinggi, disini beliau mempunyai bakat seni yaitu belajar biola dan melukis, setelah 6 tahun di sekolah raja, beliau ditawari pemerintah untuk mengajar di HIS Padang, namun ia lebih memilih Kartini School di Jakarta dan masih banyak lagi aktivitas beliau di Jakarta, diantaranya beliau sering berdiskusi dengan dr. Sutomo, pemimpin Budi Oetomo serta dan ditawari pekerjaan menjadi redaktur dari Volkslectuur (kemudian bernama Balai Pustaka) namun beliau menolak. Kemudian dilanjutkannya oleh Bapak angkatnya Sutan Marah ke negeri Belanda pada tahun 1922. Ketika Sjafei di Belanda, ekonomi dunia dilanda krisis, yang di Indonesia terkenal dengan istilah ”malaise” atau oleh rakyat disebut ”zaman beras mahal”.
Walau ekonomi krisis, selama di Belanda Sjafei menyempatkan diri mengunjungi hampis seluruh sentra industri dan sekolah kerajinan untuk keperluan studinya, untuk praktik pendidikan, dia dapat izin mengajar pada sekolah rendah Mookhoek, Rotterdam.(Majalah Sendi: 1953). Dan pada waktu senggang beliau sempat menulis banyak buku pelajaran membaca Arab dan Latin untuk sekolah rendah dan semua buku ini diterbitkan JB Worlter, Jakarta (AA. Navis:1996:20).
Disamping itu ia ikut aktif dalam organisasi pelajar yang didirikan oleh Mohammad Hatta yaitu ”Indonesisch Vereeniging” dan menjadi redaktur rubrik pendidikan pada organisasi itu. Kebiasaan lain yang diherankan oleh Moh. Hatta yang lebih dahulu sampai ke Belanda karena Sjafei tekun dengan kerajinan tangan, baginya pelajaran kerajinan tangan dan pendidikan kerajinan tangan ada bedanya. Pelajaran kerajinan tangan dapat diberikan melaui kursus atau pelatihan, yang fungsinya untuk keterampilan tenaga kerja, sedangkan pendidikan kerajinan tangan fungsinya untuk membangkitkan minat kerajinan dan kemauan bekerja. (AA. Navis: 1996:21).
Setelah sering berdiskusi, Hatta dan Sjafei menemukan pandangan yang sama bahwa Bangsa yang merdeka adalah Bangsa yang terdidik, bukan hanya oleh semangatnya saja, tetapi oleh kadar intelektual dan kemampuan menjadi bangsa yang mandiri di bidang ekonomi, dan ekonomi bangsa dapat tegak jika kita mempunyai industri. Oleh karena itu akhir dari perjuangan mereka di Belanda ini maka Mohammad Hata mendirikan partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Merdeka), dan Moehammad Sjafei mendirikan Ruang Pendidik ”Indonesisch Nederlandsche School” (INS) di Kayutanam.
Comments
Post a Comment