ditulis Oleh : Syaifudin
Pengantar
Diskursus
Multikulturalisme
merupakan karakteristik bangsa Indonesia. Karakteristik itu ditunjukkan tidak
hanya dari 17.500 pulau yang beragam jenis, tetapi juga dari kekayaan etnis,
budaya, dan agama. Dari keanekaragaman itu, Sultan Hamengku Buwono X (2008: 21)
mengibaratkan Indonesia seperti taman dunia, yaitu taman miniatur dunia yang
dipenuhi dengan keindahan beragam etnis, budaya, dan agama. Istimewanya,
karakteristik Indonesia tersebut masih kokoh tertopang oleh empat pilar
kebangsaan, yaitu Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia,
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Keempat pilar itu
menjadi konsensus final bagi bangsa Indonesia. Keempatnya merupakan harga mati
untuk dipertahankan.
Potret Indonesia
yang multikultural teramati dengan sangat jelas pada perguruan tinggi. Dengan
kata lain, perguruan tinggi adalah miniatur Indonesia. Hal itu terbukti dari
realitas yang menunjukkan bahwa seluruh civitas akademika yang ada di dalamnya
berasal dari beragam etnis, budaya, dan agama, yang terbentang dari Sabang
sampai Merauke. Konsekuensinya, sebagai bagian dari Indonesia, keempat pilar
kebangsaan juga menjadi konsensus final dan harga mati untuk dipertahankan oleh
perguruan tinggi. Seluruh civitas akademika di dalamnya diharapkan memiliki
karakter semacam itu. Segala macam upaya yang berusaha meruntuhkan pilar
kebangsaan harus disikapi dengan tegas.
Dalam konteks
zaman sekarang, realitas yang ada di lapangan justru cenderung menunjukkan
keadaan yang kontradiktif. Di beberapa kampus di Indonesia masih ditemukan
berbagai gerakan anti-Pancasila, anti-NKRI. Selain itu, tawuran antarmahasiswa
juga masih sering terjadi. Fenomena ironis ini membuat karakter kebangsaan dari
civitas akademika dipertanyakan. Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi
“kawah candradimuka” untuk pembentukan dan pembinaan karakter bangsa justru
terindikasi melakukan penyimpangan. Apabila probelmatika ini tidak segera diatasi,
dipastikan pilar kebangsaan akan terancam runtuh. Hal itu pula berarti karakter
bangsa Indonesia yang multikultural juga terancam punah.
Identifikasi
Ancaman-ancaman yang Mengancam Karakter Bangsa
Sejarah mencatat
bahwa berbagai upaya yang mengancam karakteristik bangsa Indonesia pernah atau
bahkan sering terjadi. Mulai dari konflik yang berbau SARA, tawuran
antarpelajar, hingga gerakan pembentukan negara khilafah Islamiyyah oleh
kelompok Islam garis kelas, sering kali menggoyahkan pilar kebangsaan. Berbagai
konflik SARA, mulai dari kerusuhan di Ambon, perebutan lahan jemaat GKI Yasmin
di Bogor, penghadangan delegasi FPI oleh warga Dayak Palangkaraya , hingga
kerusuhan Sampang di Madura, dapat dijadikan sebagai bukti konkret dari
gagalnya pembinaan kerukunan SARA. Meskipun konflik SARA lebih cenderung
terjadi di luar kampus, resonansi dampaknya pasti tetap terasa di dalam kampus,
sehingga hal ini juga patut diwaspadai.
Tawuran antarpelajar
(termasuk mahasiswa) yang marak terjadi belakangan ini juga telah mencoreng
nama dunia pendidikan. Padahal, pemerintah (Kemdikbud) tengah menggebu-gebu
membangun kembali pendidikan karakter di dunia pendidikan.
Tak kalah
gentingnya, isu gerakan pembentukan negara khilafah Islamiyyah juga tidak ada
surutnya mengancam eksistensi Pancasila dan NKRI. Tidak seluruh Islam
radikalisme/ekstremisme dapat dikatakan “menyimpang” dari doktrin Islam.
Sebenarnya, istilah Islam radikalisme/ekstremisme lebih karena sikap politik
dan kultural mereka yang cenderung berlawanan dengan penguasa Muslim, bahkan
dengan mainstream umat Islam secara
umum (Azra, 2002: 67).
Yang paling
disayangkan adalah isu gerakan semacam ini telah merajalela di dunia
pendidikan, lebih ironis lagi, di perguruan tinggi. Berbagai selebaran
anti-Pancasila dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan mudahnya beredar di
area masjid kampus. Realitas ini dapat ditemukan di beberapa kampus di
Yogyakarta, dan mungkin juga di daerah lainnya. Misalnya saja di sebuah
universitas negeri di Yogyakarta, dari hasil observasi lapangan diketahui bahwa
buletin jumat dari HTI pasti dengan mudah didapatkan di masjid kampus. Padahal,
buletin tersebut jelas-jelas anti-Pancasila. Isi buletin itu memuat
doktrin-doktrin dengan mengatasnamakan agama, membenarkan bahwa Pancasila,
demokrasi, dan NKRI, telah gagal memajukan Indonesia, sehingga solusi
terbaiknya adalah membentuk khilafah Islamiyyah. Lebih dari itu, HTI dengan
bebas menyebarkan undangan kajian agama untuk mahasiswa. Jelas sekali kajian
yang dibahas tentunya juga menyudutkan keempat pilar kebangsaan.
Yang menjadi
pertanyaan, apakah fenomena-fenomena semacam itu belum diketahui pihak
birokrasi? Apabila memang belum, berarti mahasiswa dan civitas akademika yang
ada di kampus memiliki kewajiban melaporkannya. Apabila ternyata sudah diketahui
dan dibiarkan begitu saja, hal itu patut disikapi dengan tegas melalui
cara-cara yang bijak.
Gerakan Wahhabi
atau Salafi malah terkenal lebih ekstrem daripada HTI. Gerakan ini selalu
berupaya melakukan infiltrasi ke berbagai bidang kehidupan umat Islam, baik
melalui cara-cara halus hingga yang kasar dan keras. Wahhabi terkenal paling vokal
dalam melakukan kekerasan, terutama dalam bidang tradisi dan budaya. Kebenaran
sepihak yang dijunjung tinggi membuat mereka tidak mampu memahami kebenaran
lain yang berbeda. Bahkan, praktik-praktik keagamaan umat Islam yang berbeda
dengan mereka, divonis sesat, pelakunya divonis musyrik, murtad, dan kafir
(Wahid, 2009: 88). Lain halnya dengan HTI dan Wahhabi, Ikhwanul Muslimin atau
PKS semula juga termasuk kelompok anti-Pancasila, hingga pada akhirnya Hidayah
Nur Wahid menegaskan bahwa PKS menerima Pancasila sebagai ideologi negara.
Mengamati
berbagai gerakan pembentukan negara khilafah Islamiyyah, seorang pejabat tinggi
Departemen Pertahanan Indonesia (Dephan RI) mengatakan bahwa ancaman terhadap
Indonesia tidak datang dalam bentuk militer dari luar negeri. Ancaman yang
sebenarnya justru berada di dalam negeri, dalam bentuk bentuk gerakan ideologi
garis keras. Senjata paling ampuh untuk mengatasinya adalah Pancasila (Ibid,
2009: 89).
Menggugat
Civitas Akademika Kampus untuk Mempertahankan Karakter Bangsa
Realitas sejarah
membuktikan bahwa keempar pilar kebangsaan yang merupakan karakter bangsa
Indonesia telah berhasil menjaga kekayaan etnis, budaya, dan agama tetap utuh. Kaanekaragaman
itu dapat hidup rukun, damai, saling toleransi, dan berjuang bersama dalam membangun
bangsa. Hal itulah yang menegaskan kembali bahwa keempatnya menjadi konsensus
final dan harga mati untuk pertahankan. Seluruh elemen bangsa yang masih mengaku
cinta tanah air Indonesia, memiliki tanggung jawab mempertahankan karakter
bangsa, tidak terkecuali civitas akademika di kampus.
Sebagai pemimpin
di kampus multikultural, pihak birokrasi kampus memiliki tanggung jawab dalam
mempertahankan karakter bangsa yang berlandaskan Pancasila, Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka
Tunggal Ika. Sebagai pemimpin di academic
atmospher, karakter kepemimpinan birokrat kampus harus selaras dengan
karakter bangsa, yaitu karakter Pancasilais.
Sikap konkretnya
dapat dimanifestasikan melalui berbagai upaya, baik yang bersifat represif
maupun preventif. Upaya represif antara lain dengan menegaskan kembali
peraturan tentang pelarangan mengedarkan segala macam buletin atau publikasi
yang anti-Pancasila dan pelecehan SARA; serta menetralkan atau memastikan kembali
eksistensi Lembaga Dakwah Kampus (LDK) sebagai
wadah yang mengakomodasi semua golongan/organisasi Islam.
Adapun upaya
preventif dilakukan antara lain dengan menghimbau seluruh civitas akademika
untuk selalu menyanyikan lagu Indonesia Raya pada setiap agenda seminar,
terutama seminar nasional; menghimbau seluruh pimpinan dekanat untuk
mengibarkan Bendera Merah Putih di setiap halaman fakultas; menghimbau seluruh
pimpinan jurusan/prodi (termasuk dekanat) untuk memajang simbol Pancasila
(Burung Garuda) di tengah-tengah foto presiden RI dan wakil presiden RI; dan
mengajak seluruh civitas akademika turut mengikuti upacara bendera pada
hari-hari besar nasional.
Sebagai bagian
dari kampus, mahasiswa juga harus ikut bertanggung jawab terhadap eksistensi
karakter bangsa. Tanggung jawab itu dapat dimanifestasikan dengan cara “membumikan”
pilar kebangsaan di kampus. Mahasiswa yang aktif di organisasi mahasiswa
(ormawa) atau Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sepatutnya menjadi pelopor
teraktualisasinya upaya ini. Karena dari merekalah, berbagai kegiatan
kemahasiswaan dirancang dan diselenggarakan di dalam kampus.
Agenda “membumikan”
pilar kebangsaan dapat ditempuh dengan mengadakan diskusi publik. Ormawa atau
UKM dijadikan sebagai “wadah bersama” bagi para mahasiswa untuk bertemu, berdialog,
dan bersatu dalam memperkokoh karakter kebangsaan.
Dari dialog
bersama itu bertujuan untuk mencegah terjadinya permasalahan seperti tawuran antarpemuda
dan mencegah konflik SARA. Dalam kaitannya dengan gerakan Islam garis keras,
Ormawa dan UKM harus mampu melepaskan diri dari segala macam intervensi mereka.
Tak kalah pentingnya, ormawa dan UKM harus berani melaporkan segala macam
bentuk gerakan-gerakan yang mengancam pilar kebangsaan. Apabila ditemukan
selebaran anti-Pancasila, maka ia patut melaporkannya pada birokrasi kampus untuk
selanjutnya ditindak tegas.
Penutup
Karakteristik
bangsa yang multikultural menghendaki terpelihara keindahan etnis, budaya, dan
agama yang ada di Indonesia. Karakter bangsa yang berdasarkan empat pilar,
yaitu Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika, menjadi konsensus final dan harga
mati untuk dipertahankan oleh seluruh elemen negara, tak terkecuali oleh civitas
akademika di kampus.
Agenda “membumikan” pilar kebangsaan sejatinya
membutuhkan peran seluruh civitas akademika. Pihak birokrat kampus diharapkan
turut menyediakan “wadah bersama” bagi mahasiswa dan civitas akademika lainnya
untuk bertemu, berdialog, dan bersatu dalam memperkokoh identitas kebangsaan.
Bikrokat kampus diharapkan juga menyediakan sarana dan prasarana penunjangnya. Sinergitas
antara birokrasi kampus dengan mahasiswa juga diharapkan mampu memperkokoh
identitas kebangsaan. Manifestasi dari keberhasilan ini akan terlihat nyata
dari tidak adanya atau setidaknya, berkurangnya tawuran maupun konflik SARA yang
melibatkan pemuda Indonesia, serta hilangnya pengaruh gerakan Islam garis keras
dengan segala macam bentuknya, sehingga terwujudlah kehidupan bangsa yang
meskipun multikultural, namun tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan
bangsa.
. pertamax. . :)
ReplyDeleteSipp mas bro .. :D
ReplyDeletelanjutkan
ReplyDeletedengan artikel
lanjutkan
ReplyDelete