(KH. R. Z. Fananie, Buku Sendjata Pengandjoer dan Pemimpin Islam).
SEJATINYA, ruh sebaris kalimat dalam satu paragraf di atas memberikan lecutan semangat yang sangat keras. Semangat yang dikobarkan kepada setiap anak bangsa saat itu agar terus bergerak melakukan perubahan untuk memancangkan keluhuran Islam dan kesejahteraan pemeluknya. Barisan kalimat pada paragraf di atas, boleh jadi merupakan keluh kesah dan ungkapan hati sang penulis atas fenomena yang terjadi saat itu. Kebodohan, kemiskinan, dan keterpurukan umat Islam akibat penjajahan berabad-abad, kala itu, memang mutlak menjadi perhatian sang penulis yang juga dikenal sebagai salah seorang pemimpin umat yang concern di dunia keislaman, pergerakan, sosial, dan pendidikan.
Seperti pada karya-karyanya yang lain, buku fenomenal “Sendjata Pengandjoer dan Pemimpin Islam” ditulis KH. Raden Zainuddin Fananie, dengan alur yang menyengat, meletup-letup, disertai analisis yang tajam. Di satu sisi, Fananie menyuguhkan kritik pedas atas realitas yang terjadi, di sisi lain ia pun menengahkan solusi yang genuine untuk mengatasi permasalahan yang dikemukakan. Bahasa yang digunakan pun sangat lugas, singkat namun bernas, dengan menyandarkan setiap solusi atas persoalan pada barisan dalil dari Al-Quran dan Al-Hadits.
Membuka “Sendjata Pengandjoer dan Pemimpin Islam”, kita akan diajak memahami pentingnya arti cinta pada bangsa dan agama. Pada buku yang telah mengalami cetak berulang-ulang tersebut, Fananie menyuguhkan ‘panduan, tips, dan trik’ sebagai petunjuk praktis bagi para pemimpin Islam saat itu. Secara eksplisit, Fananie memang sengaja mengarahkan buku fenomenal ini sebagai pegangan bagi para guru, mubaligh, propagandis, dan para pemimpin pergerakan di Indonesia dan Malaka.
Kini, setelah 60 tahun lebih berlalu, ruh yang dipancangkan ulama kharismatik kelahiran Ponorogo, 23 Desember 1905 ini dalam “Sendjata Pengandjoer dan Pemimpin Islam” masih sangat terasa. Pemikiran genuine, kritik pedas, dan solusinya yang dibungkus analisis tajam dan bernas terasa up to date dalam menyikapi persoalan bangsa saat ini. Sejumlah pemikiran lain Fananie tentang berbagai masalah menyangkut politik dan pendidikan Islam dapat pula ditemukan dalam karya-karyanya yang lain seperti “Pedoman Penangkis Crisis (1935)”, “Pedoman Pendidikan Modern (1934)”, “Islam Berhadapan Dengan Doenia”, dan lain-lainnya. Tulisan-tulisan Fananie secara cerdas menyoroti sejumlah permasalahan terkait agama Islam, leadership, dan kependidikan.
Darah pemimpin dan pendidik yang mengalir dalam tubuhnya telah menjadikan Fananie sebagai sosok yang teramat peduli pada kondisi lingkungan sekitar. Hal inilah yang membuatnya konsisten bergelut di dunia pergerakan dengan mengerahkan segala pikiran dan tenaganya. Dalam bidang pendidikan Islam, Fananie telah menorehkan rekam jejak yang gemilang. Bersama kakak dan adik kandungnya, KH. Ahmad Sahal dan KH. Imam Zarkasyi, ia merupakan bagian yang amat penting dan tak dapat dipisahkan dalam sejarah pembentukan dan pengembangan sistim pendidikan pesantren ala modern yang dilakukan Gontor dengan dibentuknya Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiah (Islamic Teacher Training College) pada tahun 1937, sekaligus melengkapi pola pendidikan Pondok Pesantren Gontor yang moderat.
Pondok Pesantren Gontor yang didirikan Trimurti (sebutan bagi ketiga tokoh pendiri lembaga ini) pada 10 April 1926 seolah mendobrak kelaziman yang umum didapati pada setiap pondok pesantren di negeri ini. Saat itu, secara umum pondok pesantren ditempatkan di luar garis modernisasi, di mana para santri pesantren oleh masyarakat dianggap pintar soal agama tetapi buta akan pengetahuan umum. Domain bagi pondok pesantren seolah-olah hanya pengetahuan agama, tetapi tidak berikut pengetahuan umum.
Fananie melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang harus diubah. Pengetahuan dan karakter umat dirasakan hanya akan ‘jalan di tempat’ jika kurikulum pondok pesantren hanya berkutat pada domain yang salah kaprah itu. Bersama Ahmad Sahal dan Imam Zarkasyi, Fananie kemudian menerapkan format baru pada metode belajar-mengajar di Pondok Pesantren Gontor dengan mempertahankan sebagian tradisi pesantren salaf dan mengubah metode pengajaran pesantren yang menggunakan sistem wetonan (massal) dan sorogan (individu) diganti dengan sistem klasik seperti sekolah umum.
Awalnya, Pondok Pesantren Gontor hanya memiliki Tarbiyatul Atfhfal (setingkat taman kanak kanak) lalu meningkat dengan didirikannya Kulliyatul Mu’alimat Al-Islami (KMI) yang setara dengan lulusan sekolah menengah pertama. Dan kelak selepas kemerdekaan RI, tepatnya pada 1963, Pondok Pesantren Gontor mendirikan Institut Studi Islam Darussalam (ISID). Kini, Pondok Pesantren Gontor telah memiliki 10 cabang yang terdiri dari 13 kampus di seluruh Indonesia dengan jumlah santri/santriwatinya mencapai 14.273 orang.
Di kalangan aktifis pergerakan, nama Fananie mencuat sebagai salah seorang aktifis yang gigih berjuang melalui pemikiran dan jiwa sosialnya. Melalui corong organisasi Muhammadiyah, Fananie tampil dalam berbagai forum dan berjuang di medan pertempuran. Perjalanan penting negeri ini, terutama di era kemerdekaan, diikuti Fananie dengan mengambil peran strategis dalam sejumlah momen.
Dalam usia yang masih muda, pada 1929, Fananie ditugaskan KH. Ibrahim, ketua umum Muhammadiyah saat itu, untuk meluaskan jaringan Muhammadiyah seperti yang diamanatkan kongres Muhammadiyah ke-15. Fananie pun diangkat sebagai Konsul Muhammadiyah se-Sumatera dengan menempati kantor di Pagar Alam, Sumatera Selatan. Pengangkatannya sebagai perwakilan Muhammadiyah tersebut merupakan titik tolak kegemilangan karir Fananie. Selain Fananie, tokoh lain yang mendapatkan penugasan itu di antaranya Hamka yang dikirim ke Makassar pada 1929 dan Badilah Zuber ke Bengkulu pada 1930.
Di Sumatera Selatan, Fananie bergabung dengan para aktifis Islam modernis, terutama di 4 Ulu bersama H. Anang yang kemudian menjadi mertuanya. Fananie menikahi Rabiah salah seorang putri H. Anang yang pada akhirnya turut pula terlibat dalam berbagai momen penting pergerakan di Sumatera Selatan. Di 4 Ulu inilah Muhammadiyah memusatkan kegiatan pendidikan sekaligus basis pergerakannya sejak era 30-an hingga pasca kemerdekaan RI.
Kekalahan Jepang pada 15 Agustus 1945 menggiring Fananie beserta sejumlah tokoh di antaranya AK. Gani, M. Isa, RM. Utoyo, dan A. Siddik membentuk formasi kepemimpinan di Palembang dalam Badan Pemerintahan Bangsa Indonesia pada 22 Agustus 1945. Badan tersebut merupakan cikal-bakal aparatur pemerintahan Karesidenan Palembang yang kelak diajukan kepada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Jakarta. Di sini, Zainuddin Fananie terpilih sebagai Kepala Bagian Sosial. Kelak, di era 60-an saat Soekarno menjabat Presiden RI, Zainuddin Fananie menjadi Menteri Sosial (?).
Sebagai sosok yang telah kenyang bergelut di dunia pergerakan, Fananie menyoroti rapuhnya manajemen wadah pergerakan saat itu. Dalam pendahuluan “Pedoman Penangkis Crisis” Fananie mengabadikannya:
“Berapa banjak perkoempoelan jang timboel, lebih-lebih dalam masa kesedaran dan zaman kemadjoean sekarang ini…disana timboel disana moentjoel… tegak perkoempoelan dan perserikatan, party ini dan perserikatan itoe…
Akan tetapi sajang!!! Alangkah banjaknja jang djatoeh roboh, djika tidak, ia bernasib merana, mati segan, hidoep tak maeo, mati tak tentoe koeboernja, hidoep tak tentoe rimbanja…”
Melalui buku yang ditulisnya sekitar tahun 1935 itu, Fananie menguraikan secara jernih perihal penyebab terjadinya krisis dalam sebuah pergerakan sekaligus membeberkan cara mengatasinya. Saat itu, apa yang dilakukan Fananie dengan menuliskan pemikirannya dalam sebuah buku merupakan sesuatu yang jarang dilakukan para pejuang kemerdekaan lainnya. Buku “Pedoman Penangkis Crisis” karya Fananie seolah menjadi panduan bagi aktifis pergerakan sekaligus jawaban atas permasalahan yang secara global mendera dunia pergerakan nasional saat itu.
Seolah mendukung latarbelakang pemikiran Fananie dalam buku tersebut, Residen Palembang O.M. Goedhart (1923-1925) melukiskan realitas yang terjadi pada dunia politik Indonesia di awal tahun 1920-an itu dengan istilah sluimerend, “tidur-tidur ayam”, mati tidak hidup pun tidak. Meski secara sadar Goedhart merujuk Sarekat Islam (SI) sebagai contoh, namun kenyataannya dunia pergerakan secara global memang mengalami krisis. Fananie melihat hal tersebut sebagai sebuah krisis yang mesti diperbaiki agar perjuangan merebut kemerdekaan selekasnya berjalan dengan baik.
Fase perjuangan Zainuddin Fananie bagi negeri ini terlalu panjang untuk diuraikan. Kiprah Zainuddin Fananie dalam kancah perjuangan nasional tentu saja tidak bisa dikesampingkan. Sejumlah catatan sejarah mengabadikannya sebagai tokoh Islamis-nasionalis moderat dari kalangan Islam yang berjuang sejak pra kemerdekaan hingga negeri ini merdeka bersama-sama dengan para tokoh pejuang lainnya.
Catatan ini tentu saja hanya mengulas sedikit saja kiprah dan pemikiran seorang Fananie. Bahkan, sebagian besar pemikiran lain beliau dalam bidang agama, tasawuf, pendidikan, budaya, masyarakat dan gerakan dakwah, gerakan kemerdekaan, gerakan ekonomi, gerakan budaya dan gerakan sosial kemasyarakatan belum banyak tergali dan diketahui masyarakat luas. Sudah sepatutnya diperlukan sebuah wadah untuk menggali lebih jauh dan mensosialisasikan gagasan-gagasan beliau. Wadah tersebut seyogianya berfungsi sebagai tempat yang secara intensif melakukan kajian, penelitian, dan sosialisasi gagasan-gagasan beliau. Selain itu, wadah tersebut dapat menjadi sebuah wadah yang secara aktif melakukan berbagai aktifitas keilmuan, pendidikan, keagamaan, budaya, ekonomi, politik dan sosial yang ditujukan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat dan masyarakat.
By Imam Fathurrohman
Comments
Post a Comment